Selamat datang di Golden World Blog. Semoga semua mahkluk hidup berbahagia. Sadhu Sadhu Sadhu.

Thursday, March 13, 2014

Arahanta Bhante Sivali MahaThera

Di zaman Buddha Padumuttara, Sivali dilahirkan sebagai orang biasa. Suatu hari ketika ia sedang mendengarkan Dharma, ia melihat Sang Buddha menunjuk seorang bhikkhu diantara bhikkhu-bhikkhu lain yang terkemuka, yang banyak memperoleh keuntungan/kebutuhan.

Setelah melihat kejadian ini, Sivali ingin mencapai prestasi yang sama dengan bhikkhu itu. Untuk itu ia mulai mempersembahkan dana kepada dan para siswanya, kemudian beraditthana (bertekad) untuk mencapai prestasi itu.

Setelah ia melihat keberhasilan dalam keinginannya itu, ia menyatakan bahwa dalam kehidupan yang akan datang akan menjadi seorang bhikkhu yang memperoleh banyak kebutuhan. Ia banyak melakukan perbuatan berjasa selama hidupnya dan setelah meninggal dilahirkan kembali ke alam dewa.

Setelah mengalami beberapa kali kelahiran, suatu saat ia dilahirkan pada zaman Buddha Vipasi, sebagai seorang umat awam di kota Bandhumati. Pada waktu itu seluruh warga kota tersebut biasanya mempersembahkan maha dana kepada Sang Buddha dan muridnya. Ketika mereka sedang mempersiapkan dana, mereka kekurangan susudan madu, sehingga seseorang diutus untuk mencari susu dan madu.

SUSU DAN MADU
Sementara itu seorang pedagang keliling sedang mengunjungi kota yang sama untuk menjual susu dan madu dan bertemu dengan seseorang yang sedang mencari susu dan madu. Pencari itu menawar berangsur-angsur harga madu dan susu itu dari satu sampai seribu rupee. Padang itu bertanya mengapa ia berani membayar mahal untuk susu dan madu itu. Orang tadi menjawab, bahwa mereka sedang kekurangan madu dan susu untuk mempersiapkan Maha Dana kepada Sang Buddha.

Pedagang itu kemudian menanyakan, apakah ia boleh ikut serta dalam berbuat jasa ini. Dan dikatakan ia diperbolehkan ikut ambil bagian dalam mempersembahkan Maha Dana. Setelah mendengar jawaban tersebut, pedagang itu menolak menerima uang dan langsung pergi mempersembahkan susu dan madu sendiri. Ia membuat addhitthana kembali untuk kelak menjadi seorang bhikkhu yang dapat menerima segala kebutuhan. Setelah Sang Buddha melihat kehidupan  selanjutnya, Beliau memberkahinya dengan mengatakan, ”Semoga keinginanmu terpenuhi”. 
 
Ia dilahirkan kembali pada zaman Buddha Gotama di suku Koliya. Setelah pembuahan dalam rahim Ratu Suppavasa, ratu menjadi sangat senang, dan beruntung menerima bermacam-macam hadiah dari keluarga dan kawan-kawannya. Disamping itu seluruh kerajaan menjadi makmur dan memperoleh panen yang banyak. Walaupun waktu untuk melahirkan telah tiba, Suppavasa masih juga belum melahirkan. Masa hamilnya demikian lama, tidak seperti biasanya.

Putri Suppavasa dari Kundakoliya sedang hamil selama tujuh tahun dan kemudian selama tujuh hari Ia mengalami kesakitan pada saat melahirkan Anak-Nya. Ia terus merenungkan Sifat-Sifat Khusus Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Ia menyuruh Suami-Nya pergi menemui Sang Buddha untuk memberikan Penghormatan dengan membungkukkan badan demi kepentingan-Nya dan untuk memberitahu Beliau tentang keadaan-Nya dengan berkata: "Sebelum Saya meninggal, Saya akan memohon sesuatu. Suami-Ku pergi dan ceritakanlah keadaan-Ku kepada Sang Guru dan undanglah dan apa yang di Katakan-Nya ingat baik-baik dan katakanlah kepada-Ku apa yang dipesankan Sang Guru".

Ketika diberitahu mengenai keadaan Putri tersebut, Sang Buddha berkata, "Semoga Suppavasa bebas dari bahaya dan penderitaan, semoga Ia melahirkan Anak yang sehat dan mulia dengan selamat".

Ketika Kata-Kata ini sedang diucapkan, Suppavasa melahirkan Anak di rumah-Nya. Pada hari itu juga, segera setelah Kelahiran Anak tersebut, Sang Buddha beserta beberapa Bhikku diundang untuk datang ke rumah-Nya. Dana makanan diberikan disana dan bayi yang baru saja lahir memberikan air yang sudah disaring kepada Sang Buddha dan Para Bhikku. Pada upacara Pemberian Nama, Putra tersebut diberi Nama Sivali, yang berarti 'Yang Menguntungkan'.

Untuk merayakan Kelahiran Bayi tersebut, Orang tua-Nya mengundang Sang Buddha dan Para Bhikku ke rumah Mereka untuk memberikan dana makanan selama tujuh hari.

Setelah 7 hari sejak Kelahiran-Nya, Ia dapat melakukan apa saja. Yang Arya Sariputra, Sang Dharmasenapati (Jenderal Dharma), berbicara kepada-Nya pada hari itu dengan berkata, "Tidakkah itu menunjukkan Sikap Seseorang yang telah mengatasi penderitaan seperti telah Engkau lakukan untuk meninggalkan duniawi?"

"Bhante, Saya akan meninggalkan duniawi". Gumam Sivali. Putri Suppavasa melihat Mereka berbicara dan menanyakan kepada Sariputra Thera, apa yang telah Mereka bicarakan. "Kami berbicara tentang penderitaan panjang yang telah diatasi oleh Sivali. Dengan izin-Mu, Saya akan menahbiskan-Nya", jawab Sariputra Thera. Putri Suppavasa berkata, "Itu baik, Yang Arya, tahbiskanlah Anak-Ku Sivali". Dan pada saat ditahbiskan, Yang Arya Sariputra Thera berkata, "Sivali, Engkau tidak menginginkan Nasehat lainnya selain sebab dari dukkha yang panjang yang telah Engkau atasi ? Pikirkanlah itu." "Bhante, Kata-Kata Bhante merupakan beban bagi penahbisan-Ku tetapi Saya akan menemukan apa yang pandai Saya lakukan", kata Sivali.

Ketika Anak-Nya tumbuh dewasa, Ia diterima dalam Pasamuan dan sebagai Bhikku, Ia dikenal dengan Nama Arya Sivali Thera.
Pada saat pertama Rambut-Nya dipotong, Dia mendapat hasil pada Jalan Pertama (Sotapatti-phala), saat yang kedua dipotong, Ia mencapai Jalan Kedua (Sakadagami-phala).
Ia mencapai tingkat Kesucian Arahat segera setelah Kepala-Nya dicukur. Kemudian, Ia menjadi terkenal sebagai Seorang Bhikku yang dengan mudah selalu menerima pemberian berjumlah besar, kendatipun Ia melakukan Pindapatta di desa yang sangat miskin sekalipun. Sebagai Bhikku penerima dana, Ia tidak terbandingkan sehingga Ia terkenal sebagai Bhikku Murah Rezeki.

Setelah Sariputra Thera menahbiskan-Nya, Bhikku Sivali pergi pada hari yang sama dan membuat tempat kediaman-Nya di gubuk serta bermeditasi pada keterlambatan Kelahiran-Nya yang sengsara. Dengan cara ini, Pengetahuan-Nya mencapai kedewasaan. Beliau masuk kedalam Pandangan Benar menghilangkan semua racun dalam pikiran, Beliau telah mencapai Arahat. Setelah mengalami kebahagiaan kebebasan, Beliau dalam Kebahagiaan mengucapkan Syair berikut:"Sekarang telah berhasil baik, semua Tujuan Tertinggi-Ku dalam mengasingkan Diri. Adat pengetahuan yang suci dan pembebasan, permintaan-Ku, semua kesombongan tersembunyi telah Kusingkirkan".

Pada suatu kesempatan, Para Bhikku bertanya kepada Sang Buddha, mengapa Sivali, dengan memiliki bekal menjadi Seorang Arahat, dilahirkan di dalam rahim Ibu-Nya selama tujuh tahun.

Kepada Mereka Sang Buddha menjawab, "Para Bhikku ! Dalam salah satu Kelahiran-Nya yang terdahulu, Sivali adalah Anak dari Raja yang kehilangan Kerajaan-Nya karena direbut oleh Raja lain. Dalam usaha-Nya untuk memperoleh kembali Kerajaan Mereka, Ia (Sivali) telah mengepung Kota Kerajaan atas nasehat Ibu-Nya. Sebagai akibat-Nya, orang-orang didalam kota itu kehabisan makanan dan air selama tujuh hari. Karena perbuatan jahat itulah, maka Sivali terkurung dalam rahim Ibu-Nya selama tujuh tahun. Tetapi sekarang, Sivali telah sampai pada akhir semua dukkha, Ia telah merealisasikan Nirvana".

Kemudian Sang Buddha membabarkan Syair 414 berikut:

"Yo' mam palipatham duggam samsaram mohamaccaga tinno parangato jhayi anejo akathamkathi anupadaya Nibbuto tamaham brumi Brahmanam."
Orang yang telah menyeberangi lautan kehidupan (samsara) yang kotor, berbahaya dan bersifat maya, yang telah menyeberang dan mencapai 'pantai seberang' (Nirwana), yang selalu bersamadhi, tenang, dan bebas dari keragu-raguan, yang tidak terikat pada sesuatu apapun dan telah mencapai Nirwana, maka Ia Kusebut Seorang 'Brahmana'.

Namo Arahato Sivali Vandana Gatha

Sivali ca mahathero devata nara pujito soraho paccaya dimhi
Sivali ca mahathero yakkha devabhi pujito soraho paccaya dimhi ahang vandami sabbada
Sivali terasa etang gunang savasti labhang bhavantu me

Sumber : Dhammapada dan Berbagai Sumber


Friday, March 7, 2014

SEJARAH DEWI KWAN IM

 

Kwan Im pertama diperkenalkan ke Cina pada abad pertama SM, bersamaan dengan masuknya agama Buddha. Pada abad ke-7, Kwan Im mulai dikenal di Korea dan Jepang karena pengaruh Dinasti Tang. Pada masa yang sama, Tibet juga mulai mengenal Kwan Im dan menyebutnya dengan nama Chenrezig. Dalai Lama sering dianggap sebagai reinkarnasi dari Kwan Im di dunia.

Jauh sebelum masuknya agama Buddha, menjelang akhir Dinasti Han, Kwan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok purba dengan sebutan Pek Ie Tai Su yaitu Dewi Welas Asih Berbaju Putih. Kwan Im (Hanzi:::;Pinyin: Guan Yin) sendiri adalah dialek Hokkian yang dipergunakan mayoritas komunitas Cina di Indonesia. Nama lengkap dari Kwan Im adalahKwan She Im Phosat (Hanzi::::, pinyin: Guan Shi Yin Pu Sa) yang merupakan terjemahan dari nama aslinya dalam bahasa Sanskrit,Avalokitesvara.

Nama Lain
Kwan Im di Asia Timur, dikenal dengan berbagai nama. Akan tetapi “Kwan Im” atau “Kwan Tse Im” masih merupakan panggilan sederhana yang diberikan untuknya. Berikut adalah beberapa panggilan atau sebutan yang diberikan berdasarkan negara tertentu:

Di negara Jepang, Kwan Im Pho Satlebih dikenal dengan nama Dewi Kannon (::) atau secara resmiKanzeon (:::). Dalam bahasaKorea disebut Gwan-eum atauGwanse-eum, dalam bahasaThailand dikenal sebagai Kuan Eim(::::::) atau Prah Mae Kuan Eim(:::::::::), di Hongkong (propinsi Guang Dong); Kwun Yum atau Kun Yum, pelafalan ini berdasarkan bahasa Kanton, dan dalam bahasaVietnam, Quán Âm atau Quan Th: Âm B: Tát.

Arti Nama
Dikemudian hari, Dewi Kwan Im, identik dengan perwujudan dari Buddha Avalokitesvara. Secara absolut, pengertian Avalokitesvara Boddhisatvadalam bahasa Sansekerta adalah :
· Valokita (Kwan / Guan / Kwan Si / Guan Shi) yang bermakna “Melihat ke bawah atau Mendengarkan ke bawah”. Bawah di sini bermakna ke dunia, yang merupakan suatu alam (lokita).

· Svara (Im / Yin) berarti suara. Yang dimaksud adalah suara dari makhluk-makhluk yang menjerit atas penderitaan yang dialaminya. Oleh sebab itu Kwan Im adalah Bodhisatva yang melambangkan kewelas-asihan dan penyayang.

Masa Kecil Kwan Im
Dewi Kwan Im (Miao San ) lahir pada tanggal 19 bulan 2 tahun Kongcu – lik, pada jaman Kerajaan Ciu / Cian Kok pada tahun 403-221 Sebelum Masehi.Pada tanggal 19 bulan 6 yaitu pada usia 17 tahun memperoleh Penerangan dan mencapai tingkatan Boddisattva / Hud / Fo. Pada tanggal 19 bulan 9 di tahun yang sama, mencapai kesempurnaan dan berhasil Mokswa, naik ke langit bersama badan kasarnya menjadi Kwan Se Yin Pao Sat Jien So Jien Yen atau Dewi Kwan Im Tangan Seribu – Mata Seribu – Kepala Seribu. Dewi Kwan Im selalu membawa botol Amertha atau wadah suci berisi Embun Welas Asih yang berkhasiat mensucikan segala kotoran ( dosa ) serta menyembuhkan.

Kendaraan Dewi Kwan Im
Dewi Kwan Im Miao San mengendarai Ikan Tombro yaitu lambang keteguhan menghadapi tantangan (seperti Ikan Tombro berenang melawan arus meloncati jeram) jadi seruan agar umat teguh tekadnya dan kuat menghadapi tantangan di dunia dengan jalan yang benar. Bertangan Seribu, Bermata Seribu bahkan Berkepala Seribu lambang bisa mampu menjangkau berbagai hal, Penyayang dan penuh Welas Asih.

Kadang naik Bunga Teratai lambang Kesucian yang selalu bersih, biarpun tumbuh di atas Lumpur, agar umat meneladani makna yang tersirat dalam kehidupannya.

Perwujudan Kwan Im
Kwan Im (Avalokitesvara) sendiri asalnya digambarkan berwujud laki-laki diIndia, begitu pula pada masa menjelang dan selama Dinasti Tang (tahun618-907). Namun pada awal Dinasti Sung (960-1279), berkisar pada abad ke 11, beberapa dari pengikut melihatnya sebagai sosok wanita yang kemudian digambarkan dalam para seniman.Perwujudan Kwan Im sebagai sosok wanita lebih jelas pada masa Dinasti Yuan (1206-1368). Sejak masa Dinasti Ming, atau berkisar pada abad ke 15, Kwan Im secara menyeluruh dikenal sebagai wanita.

Bila sudah mencapai taraf Buddha sudah tidak lagi terikat dengan bentuk apalagi gender, karena pada dasarnya roh itu tidak mempunyai bentuk fisik dan gender. Menurut cerita, Dewi Kwan Im adalah titisan Dewa Che Hangyang ber-reinkarnasi ke bumi untuk menolong manusia keluar dari penderitaan, karena beliau melihat begitu kacaunya keadaan manusia saat itu dan sebagai akibatnya terjadi penderitaan di mana-mana.

Dewa Che Hang memilih wujud sebagai wanita, agar lebih leluasa untuk menolong kaum wanita yang membutuhkan pertolonganNya. Disamping itu agar lebih bisa meresapi penderitaan manusia, bila dalam bentuk wanita, karena di jaman itu, wanita lebih banyak menderita dan kurang leluasa dalam membuat keputusan.

Dalam sejumlah kitab Budhisme Tiongkok klasik, seperti Sutra Suddharma Pundarika Sutra (Biau Hoat Lien Hoa Keng) disebutkan ada 33 penjelmaan Kwan Im Pho Sat, antara lain :

1.Kwan Im Berdiri Menyeberangi Samudera;
2.Kwan Im Menyebrangi Samudera sambil Berdiri diatas Naga;
3.Kwan Im Duduk Bersila Bertangan Seribu;
4.Kwan Im Berbaju dan Berjubah Putih Bersih sambil Berdiri;
5.Kwan Im Berdiri Membawa Anak;
6.Kwan Im Berdiri diatas Batu Karang/Gelombang Samudera;
7.Kwan Im Duduk Bersila Membawa Botol Suci & Dahan Yang Liu;
8.Kwan Im Duduk Bersila dengan Seekor Burung Kakak Tua.

Selain perwujudan yang beraneka bentuk dan posisi, nama atau julukan Kwan Im (Avalokitesvara) juga bermacam-macam, ada Sahasrabhuja Avalokitesvara (Qian Shou Guan Yin), Cundi Avalokitesvara, dan lain-lain. Walaupun memiliki berbagai macam rupa, pada umumnya Kwan Im ditampilkan sebagai sosok seorang wanita cantik yang keibuan, dengan wajah penuh keanggunan.

Selain itu, Kwan Im Pho Sat sering juga ditampilkan berdampingan denganBun Cu Pho Sat dan Po Hian Pho Sat, atau ditampilkan bertiga dengan :Tay Su Ci Pho Sat (Da Shi Zhi Phu Sa) – O Mi To Hud – Kwan Im Pho Sat.

Sedangkan dalam Maha Karuna Dharani (Ta Pei Cou / Ta Pei Shen Cou)ada 84 perwujudan Dewi Kwan Im sebagai simbol dari Bodhisatva yang mempunyai kekuasaan besar.

Altar utama di Kuil Pho To Sandipersembahkan kepada Kwan Im Pho Sat dengan perwujudan sebagaiBudha Vairocana, dan di sisi kiri atau kanan berjajar 16 perwujudan lainnya. Perwujudan Beliau di altar utama Kim Tek Ie (salah satuKelenteng tertua di Indonesia adalahKing Cee Kwan Im (Kwan Im Membawa Sutra Memberi Pelajaran Buddha Dharma kepada umat manusia).

Disamping itu terdapat pula wujud Kwan Im Pho Sat dalam Qian Shou Guan Yin (Kwan Im Seribu Tangan) sebagai perwujudan Beliau yang selalu bersedia mengabulkan permohonan perlindungan yang tulus dari umatNya. Julukan Beliau secara lengkap adalah Tay Cu Tay Pi – Kiu Kho Kiu Lan – Kong Tay Ling Kam – Kwan Im Sie Im Pho Sat.

Ketika agama Buddha memasuki Tiongkok (Masa Dinasti Han), pada mulanya Avalokitesvara Bodhisattva bersosok pria. Seiring dengan berjalannya waktu, dan pengaruh ajaran Taoisme serta Kong Hu Cu, menjelang era Dinasti Tang, profil Avalokitesvara Bodhisattva berubah dan ditampilkan dalam sosok wanita.
Dari pengaruh ajaran Tao, probabilita perubahan ini terjadi karena jauh sebelum mereka mengenal Avalokitesvara Bodhisattva, kaum Taois telah memuja Dewi Tao yang disebut “Niang-Niang” (Probabilitas adalah Dewi Wang Mu Niang-Niang). Sehubungan dengan adanya legenda Puteri Miao Shan yang sangat terkenal, mereka memunculkan tokoh wanita yang disebut“Guan Yin Niang Niang”, sebagai pendamping Avalokitesvara Bodhisattva pria.

Lambat laun tokoh Avalokitesvara Bodhisattva pria dilupakan orang dan tokoh Guan Yin Niang-Niang menggantikan posisinya dengan sebutan Guan Yin Phu Sa. Dari pengaruh ajaran Kong Hu Cu, mereka menilai kurang layak apabila kaum wanita memohon anak pada seorang Dewa. Bagi para penganutnya, hal itu dianggap sesuai dengan keinginan Kwan Im sendiri untuk mewujudkan dirinya sebagai seorang wanita, agar lebih leluasa untuk menolong kaum wanita yang membutuhkan pertolongan.

Dari sini jelas bahwa tokoh Avalokitesvara Bodhisattva berasal dari India dan tokoh Guan Yin Phu Sa berasal dari Tiongkok. Avalokitesvara Bodhisattva memiliki tempat suci di gunung Potalaka, Tibet,Pu Tao Shan sedangkan Kwan Im Pho Sat memiliki tempat suci di gunung di kepulauan Zhou Shan,Cina. Kesimpulan atas hal ini adalah tokoh Avalokitesvara Bodhisatva merupakan stimulus awal munculnya Kwan Im Pho Sat.

Dalam kepercayaan Buddhisme yang berkembang pesat di China, diyakini bahwa segala permohonan yang berangkat dari ketulusan dan niat suci, maka biasanya Dewi Kwan Im akan mengabulkan permintaan tersebut.Terutama pada saat-saat genting dimana seseorang tengah berhadapan dengan bahaya. Sehingga dalam kurun ribuan tahun, pengabdian moral dari Dewi Kwan Im dikenal galib berporos empat jalan kebenaran. Yakni, pengembangan kebajikan, pengembangan toleransi dan saling hormat menghormati, pengendalian batin dan mawas diri, serta menghindarkan dari marabahaya.

Menurut Kitab Suci Kwan Im Tek Tooyang disusun oleh Chiang Cuen, Dewi Kwan Im (Miao San ) lahir pada tanggal 19 bulan 2 tahun Kongcu – lik, pada jaman Kerajaan Ciu / Cian Kok pada tahun 403-221 Sebelum Masehi. Terkait dengan legenda puteri Miao Shan, anak dari Raja Miao Zhuang / Biao Cong / Biao Cuang / Miao Chiang / Miao Tu Huang, penguasa negeri Xing Lin (Hin Lim), kira-kira pada akhir Dinasti Zhou di abad ke-3 SM. Dinasti Zhou sendiri berkuasa dari tahun 1122 – 255 SM.

Raja Miao Zhuang sangat mendambakan seorang anak lelaki, tetapi yang dimilikinya hanyalah 3 orang puteri. Puteri tertua bernama Miao Shu, yang kedua bernama Miao Yin El, dan yang bungsu bernama Miao Shan.
Setelah ketiga puteri tersebut menginjak dewasa, Raja mencarikan jodoh bagi mereka. Puteri pertama memilih jodoh seorang pejabat sipil, yang kedua memilih seorang jendral perang sedangkan Puteri Miao Shan tidak berniat untuk menikah. Ia malah meninggalkan istana dan memilih menjadi Bhikunidi Klenteng Bai Que Shi (Tay Hiang Shan).

Miao Yin El menikah serta di kemudian hari menurunkan Raja Miao Li yang mempunyai putri bernama Yu Lan. Miao Shu dan Miao Yin lebih cenderung dimanja oleh fasilitas istana dan berfoya-foya. Sementara Miao Shan dengan rajin menjaga dan merawat kedua orang tua mereka. Dari ketiga putri sang Raja, putri ketiga lah yang sangat berbakti kepada kedua orangtua serta leluhurnya. Ia juga memperlihatkan sifat welas asih kepada semua makhluk. Itu sebabnya ia sudah vegetarian sejak balita.

Dikisahkah, saat masih bayi, bila Miao Shan mendengar kata “bunuh”, ia akan menangis sekeras-kerasnya dan tidak mau bila diberi makan daging saat balita. Toleransinya kepada dayang-dayang istana sangat besar sehingga ia disayangi oleh semua pihak. Ia selalu mengaplikasikan bentuk-bentuk kebajikan Buddhisme yang ia pelajari dan dalami ke dalam hidup sehari-harinya.

Hal tersebut menimbulkan iri hati dan benci dari kedua kakak perempuannya, sehingga dengan intrik dan hasutan jahat bekerja sama dengan seorang peramal tua yang jahat akhirnya Miao Shan diusir dari istana. Miao Shan dituduh titisan dari iblis jahat, sehingga negeri mereka yang dulunya makmur, sekarang selalu dirundung bencana. Padahal bencana dan masalah datang, karena banyak pejabat istana termasuk si peramal tua jahat itu terlibat korupsi besar-besaran, bahkan si peramal tua berambisi mengambil tahta Sang Raja.

Kelompok jahat itu mengklaim sejak Miao Shan lahir bencana susul menyusul tiada henti. Kalau bukan kekeringan, pasti kebanjiran. Kalau bukan kelaparan pasti wabah penyakit. Sehingga Miao Shan dianggap jelmaan iblis yang dikutuk oleh langit.

Dalam pengembaraannya Miao Shan mengabdikan diri sebagai samaneri(calon biksu perempuan). Tahun berganti tahun, akhirnya Sang Raja, ayahanda Miao Shan menjadi sakit-sakitan karena merasa rindu pada putri bungsunya tersebut. Sampai akhirnya sang Raja menderita penyakit aneh yang sekujur tubuhnya ditumbuhi bisul dan borok tak tersembuhkan. Disinyalir ada hubungannya dengan ilmu iblis yang dipelajari oleh peramal tua yang mengincar tahtanya. Bahkan Raja menjadi buta dan permaisuri menjadi kelainan jiwa akibat merindukan putri bungsu mereka.

Miao Shan yang merasa iba, berkat kesaktiannya, mengubah dirinya menjadi seorang bikkhuni. Ia mendatangi istana, dan menjenguk ayahandanya yang terkapar sakit, dengan dalih sebagai tabib. Setelah Miao Shan membacakanparita, ayah ibunya itu merasakan damai yang tiada tara, sehingga mereka tertidur dengan damai. Namun dalam penyamarannya itu, Ia bukannya hanya mengobati, tetapi juga memberi petunjuk bahwa Sang Raja menderita penyakit aneh, dan hanya dapat sembuh jika mengkonsumsi sekerat daging manusia dan sebiji bola mata yang berasal dari tubuh putri kandungnya. Tentu saja ayah ibunya tidak mendengar hal ini karena sudah tertidur, kalau mendengar mungkin mereka tidak berkenan menjalankan pengobatan.

Dihadapan ibu suri dan kedua kakaknya, Miao Shan membeberkan cara pengobatan aneh itu. Di saat meminta kedua kakak perempuannya untuk berkorban diiris otot lengan dan dicungkil sebelah bola matanya untuk dicampur pada obat bagi ayah mereka, saat itu juga keduanya berlutut di samping ranjang ayahanda mereka, menangis tersedu-sedu.

“Oh, Ayahanda, kasihanilah saya Miao Shu. Saya masih memiliki anak yang masih kecil-kecil dan mereka masih membutuhkan saya untuk membesarkan mereka.”

Tak lama berselang, Miao Yin menyusul dengan kalimat bernada serupa. Kali ini tangisnya lebih deras. tiba-tiba Miao Shan menengahi, dengan bijak ia berkata.”Kalau begitu biarkan daging dan bola mata saya saja yang dikorbankan untuk kesembuhan Baginda.” Saat itu kedua kakaknya belum menyadari yang dihadapan mereka adalah adik bungsunya Miao Shan, oleh karena dandanannya yang sederhana sebagai biksuni dan juga karena sekian tahun lamanya mengembara di luar.

Setelah mengiris sekerat otot lengan dan mencongkel bola matanya sendiri dengan belati tanpa rasa takut, dengan tenang serta penuh keikhlasan, ia memberikan bagian-bagian tubuhnya itu untuk campuran ramuan obat untuk ayah ibunya. Saat mengaduk-aduk ramuan obat itu, terjadi keajaiban. Ramuan obat itu memancarkan harum wangi dupa dan memenuhi seluruh penjuru istana.

Raja Miao Zhuang setelah meminum “obat mujarab” tersebut sembuh seketika dan matanya dapat melihat kembali. Atas jasanya, Raja menanyakan apa yang diinginkan oleh Miao Shan yang masih belum dikenali oleh mereka. “Hamba tidak menginginkan bayaran apapun, hamba hanya berbuat baik untuk menyebarkan dharma dan ajaran sang Buddha.” Demikian kata Miao Shan.

“Minimal apa ada permintaan biksuni agar kami tidak merasa terlalu sungkan karena tidak memberikan apa-apa.” Kata Sang Raja.

Terdiam sejenak, kemudian Miao Shan melanjutkan. “Hamba sudah lama kehilangan ayah dan ibu, bolehkan hamba memeluk Baginda dan Permaisuri sehingga kerinduan akan ayah-ibu bisa terobati?”

“Ha? Sesederhana itu? Kenapa tidak boleh… silahkan.” Sahut sang Raja.

Miao Shan menunduk dan menghampiri ayah bundanya itu, setelah bersujud di pelukan Raja ia kemudian berpindah ke pelukan permaisuri dengan airmata berlinang dan suara isak tangis. “Ibu, maafkan anak yang tidak berbakti” demikian Miao Shan berbisik. Karena jarak dekat, permaisuri baru menyadari kalau itu adalah putri bungsunya yang telah diusir dari istana akibat konspirasi pejabat yang tidak setia. Raja yang kaget dan senang bukan kepalang memeluk tubuh putri bungsunya itu dengan airmata berlinang.

Sejak itulah kebajikan dan keluhuran budi Miao Shan menjadi legenda di tanah Tiongkok. Ia menggugah ketulusan tanpa pamrih, pengorbanan tanpa batas, sifat welas asih yang tiada tara, dan masih banyak lagi kemuliaan yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Setelah peristiwa fenomenal tersebut, Miao Shan tetap bertekad melanjutkan pertapaannya dengan menjadi biksuni sepanjang hidup dan pengabdiannya. Meski berat hati, tapi Raja Miao Zhung dan permaisurinya merelakan putri bungsunya tersebut, memaklumi niatnya untuk mengabdi bagi kemanusiaan.

Untuk mengenang putri bungsunya tersebut, Raja Miao Zhung memerintahkan pekerja seni rupa terbaik di negerinya membuat patung berwujud putri Miao Shan dan mendirikan vihara Dewi Kwan Im pertama diPho To San

“Putri saya, Miao Shan, ibarat memiliki seribu tangan untuk membantu sesama dengan tulus serta ikhlas, dan seribu mata yang peka melihat penderitaan rakyat jelata!” demikian kata Raja Miao Zhuang dalam nada bangga, yang ternyata salah ditanggapi oleh para pemahat arca istana. Arca rampung dengan memiliki simbolisasi seribu tangan dan seribu mata. Itulah awal ihwal Miao Shan yang melegenda menjadi Qian Shou Guan Yin (Dewi Kwan Im Seribu Tangan).

Dikisahkan ketika Miao Shan berhasil mencapai pencerahan menjadi Buddha, saat hendak memasuki gerbang Nirwana, ia mendengar banyak tangisan penderitaan dari alam manusia di bawah. Ia kemudian membatalkan memasuki Nirwana dan memilih berada di alam manusia untuk membantu setiap makhluk hidup, karena masih mendengar tangisan penderitaan manusia. Ia senantiasa menyingkirkan segala macam penderitaan dan menumbuhkan kebahagiaan dengan mewujudkan permintaan kesejahteraan kaum papa.

Turun temurun masyarakat Tionghoa sangat menghormati Dewi Kwan Im. Hampir di setiap rumah penganut Konfusiunisme dan klenteng-klentengpasti memiliki rupam atau diorama puja untuk mengenang jasa dan kebaikanNya.

Legenda Miao Shan
Selain itu, menurut Kitab Suci Kwan Im Tek Too yang disusun oleh Chiang Cuen, Dewi Kwan Im dilahirkan pada zaman Kerajaan Ciu / Cian Kok pada tahun 403-221 SM terkait dengan legenda Puteri Miao Shan, anak dari Raja Miao Zhuang / Biao Cong / Biao Cuang Penguasa Negeri Xing Lin (Hin Lim), kira-kira pada akhir Dinasti Zhou di abad III SM.

Disebutkan bahwa Raja Miao Zhuang sangat mendambakan seorang anak lelaki, tapi yang dimilikinya hanyalah 3 (tiga) orang puteri. Puteri tertua bernama Miao Shu (Biao Yuan), yang kedua bernama Miao Yin (Biao In) dan yang bungsu bernama Miao Shan (Biao Shan).

Setelah ketiga puteri tersebut menginjak dewasa, Raja mencarikan jodoh bagi mereka. Puteri pertama memilih jodoh seorang pejabat sipil, yang kedua memilih seorang jendral perang sedangkan Puteri Miao Shan tidak berniat untuk menikah. Ia malah meninggalkan istana dan memilih menjadi Bhikuni diKlenteng Bai Que Shi (Tay Hiang Shan).

Setelah ketiga puteri tersebut menginjak dewasa, Raja mencarikan jodoh bagi mereka. Puteri pertama memilih jodoh seorang pejabat sipil, yang kedua memilih seorang jendral perang sedangkan Puteri Miao Shan tidak berniat untuk menikah. Ia malah meninggalkan istana dan memilih menjadi Bhikuni diKlenteng Bai Que Shi (Tay Hiang Shan).

Kematian dan di alam baka
Berbagai cara diusahakan oleh Raja Miao Zhuang agar puterinya mau kembali dan menikah, namun Puteri Miao Shan tetap bersiteguh dalam pendirianNya. Pada suatu ketika, Raja Miao Zhuang habis kesabarannya dan memerintahkan para prajurit untuk menangkap dan menghukum mati sang puteri.

Setelah kematianNya, arwah Puteri Miao Shan mengelilingi neraka. Karena melihat penderitaan makhluk-makhluk yang ada di neraka, Puteri Miao Shan berdoa dengan tulus agar mereka berbahagia. Secara ajaib, doa yang diucapkan dengan penuh welas asih, tulus dan suci mengubah suasana neraka menjadi seperti surga.

Penguasa Akherat, Yan Luo Wang, menjadi bingung sekali. Akhirnya arwah Puteri Miao Shan diperintahkan untuk kembali ke badan kasarNya. Begitu bangkit dari kematianNya, Buddha Amitabha muncul di hadapan Puteri Miao Shan dan memberikan Buah Persik Dewa. Akibat makan buah tersebut, sang Puteri tidak lagi mengalami rasa lapar, ke-tuaan dan kematian. Buddha Amitabha lalu menganjurkan Puteri Miao Shan agar berlatih kesempurnaan di gunung Pu Tuo, dan Puteri Miao Shan-pun pergi ke gunung Pu Tuo dengan diantar seekor harimau jelmaan dari Dewa Bumi.

Menyelamatkan raja
Sembilan tahun berlalu, suatu ketika Raja Miao Zhuang menderita sakit parah. Berbagai tabib termasyur dan obat telah dicoba, namun semuanya gagal. Puteri Miao Shan yang mendengar kabar tersebut, lalu menyamar menjadi seorang Pendeta tua dan datang menjenguk. Namun terlambat, sang Raja telah wafat.

Dengan kesaktianNya, Puteri Miao Shan melihat bahwa arwah ayahNya dibawa ke neraka, dan mengalami siksaan yang hebat. Karena rasa bhaktiNya yang tinggi, Puteri Miao Shan pergi ke neraka untuk menolong. Pada saat akan menolong ayahNya untuk melewati gerbang dunia akherat, Puteri Miao Shan dan ayahNya diserbu setan-setan kelaparan. Agar mereka dapat melewati setan-setan kelaparan itu, Puteri Miao Shan memotong tangan untuk dijadikan santapan setan-setan kelaparan.

Setelah hidup kembali, Raja Miao Zhuang menyadari bahwa bhakti ketiga putrinya sangat luar biasa. Akhirnya sang Raja menjadi sadar dan mengundurkan diri dari pemerintahan serta bersama-sama dengan keluarganya pergi ke gunung Xiang Shan untuk bertobat dan mengikuti jalan Buddha. Rakyat yang mendengar bhakti Puteri Miao Shan hingga rela mengorbankan tanganNya menjadi sangat terharu. Berbondong-bondong mereka membuat tangan palsu untuk Puteri Miao Shan.

Buddha O Mi To Hud (amitabha) yang mengetahui hal itu segera menolong dan memberikan “Seribu Tangan dan Seribu Mata, sehingga Beliau dapat mengawasi dan memberikan pertolongan lebih banyak kepada manusia. Buddha O Mi To Hud yang melihat ketulusan rakyat, juga merangkum semua tangan palsu tersebut dan mengubahNya menjadi suatu bentuk kesaktian serta memberikannya kepada Puteri Miao Shan. Lalu Ji Lay Hud memberiNya gelar Qian Shou Qian Yan Jiu Ku Jiu Nan Wu Shang Shi Guan Shi Yin Phu Sa, yang artinya Bodhisatva Kwan Im Penolong Kesukaran Yang Bertangan Dan Bermata Seribu Yang Tiada Bandingnya, Buddha O Mi To Hud (Amitabha)

Kwan Im, Dewi Tangan seribu
Dalam kisah lain disebutkan bahwa pada saat Kwan Im Phu Sa diganggu oleh ribuan setan, iblis dan siluman, Beliau menggunakan kesaktianNya untuk melawan mereka. Ia berubah wujud menjadi Kwan Im Bertangan dan Bermata Seribu, dimana masing-masing tangan memegang senjata Dewa yang berbeda jenis.

Kisah Kwan Im Lengan Seribu ini juga memiliki versi yang berbeda, diantaranya adalah pada saat Puteri Miao Shan sedang bermeditasi dan merenungkan penderitaan umat manusia, tiba-tiba kepalanya pecah berkeping-keping.

Pelantikan
Disebutkan juga bahwa pada saat pelantikan Puteri Miao Shan menjadi Pho Sat, Puteri Miao Shan diberi 2 (dua) orang pembantu, yakni Long Ni dan Shan Cai. Konon, Long Ni diberi gelar Giok Li (Yu Ni) atau “Gadis Kumala” dan Shan Cai bergelar Kim Tong (Jin Tong) atau “Jejaka Emas”. Pada mulanya, Long Ni adalah cucu dari Raja Naga (Liong Ong), yang diberi tugas untuk menyerahkan mutiara ajaib kepada Kwan Im, sebagai rasa terima kasih dari Liong Ong karena telah menolong puterinya. Namun ternyata Long Ni justru ingin menjadi murid Kwan Im dan mengabdi kepadaNya.

Khusus untuk Shan Cai ada 2 (dua) versi legenda. Versi pertama berdasarkan legenda Puteri Miao Shan yang menceritakan bahwa Shan Cai adalah pemuda yatim piatu yang ingin belajar ajaran Buddha. Ia ditemukan oleh To Te Kong dan diserahkan kepada Kwan Im untuk dididik. Versi lain dalam cerita Se Yu Ki (Xi You Ji) menyebutkan bahwa Shan Cai adalah putera siluman kerbau Gu Mo Ong (Niu Mo Wang) dengan Lo Sat Li (Luo Sa Ni). Nama asliNya adalah Ang Hay Jie (Hong Hai Erl) atau si Anak Merah.
Karena kenakalan dan kesaktian Ang Hay Jie, Sang Kera Sakti Sun Go Kong / Sun Wu Kong meminta bantuan kepada Kwan Im Pho Sat untuk mengatasiNya.

Akhirnya Ang Hay Jie berhasil ditaklukkan oleh Kwan Im Pho sat dan diangkat menjadi muridNya dengan panggilan Shan Cai. Dalam hal ini, banyak orang yang salah mengerti dan menganggap bahwa salah 1 (satu) pengawal Kwan Im Po Sat adalah Lie Lo Cia (Li Ne Zha), yang penampilanNya memang mirip dengan Ang Hay Jie. Secara khusus terdapat perbedaan diantara keduaNya, Lie Lo Cia menggunakan senjata roda api di kakiNya, sedangkan Ang Hay Jie menggunakan semburan api dari mulutnya. Lie Lo Cia adalah anak dari Lie King dan Ang Hay Jie adalah anak dari Gu Mo Ong.

Legenda Puteri Miao Shan
Dalam legenda Puteri Miao Shan, disebutkan bahwa kakak-kakak Miao Shan bertobat dan mencapai kesempurnaan, lalu mereka diangkat sebagai Pho Sat oleh Giok Hong Siang Te. Puteri Miao Shu diangkat sebagai Bun Cu Pho Sat (Wen Shu Phu Sa) dan Puteri Miao Yin sebagai Po Hian Pho Sat (Pu Xian Phu Sa). Disebutkan juga bahwa pada saat pelantikan Puteri Miao Shan menjadi Pho Sat, Puteri Miao Shan diberi 2 (dua) orang pembantu, yakni Long Ni dan Shan Cai. Konon, Long Ni diberi gelar Giok Li (Yu Ni) atau “Gadis Kumala” dan Shan Cai bergelar Kim Tong (Jin Tong)atau “Jejaka Emas”.

Pada mulanya, Long Ni adalah cucu dari Raja Naga (Liong Ong), yang diberi tugas untuk menyerahkan mutiara ajaib kepada Kwan Im, sebagai rasa terima kasih dari Liong Ong karena telah menolong puterinya. Namun ternyata Long Ni justru ingin menjadi murid Kwan Im dan mengabdi kepadaNya. Khusus untuk Shan Cai ada 2 (dua) versi legenda. Versi pertama berdasarkan legenda Puteri Miao Shan yang menceritakan bahwa Shan Cai adalah pemuda yatim piatu yang ingin belajar ajaran Buddha. Ia ditemukan oleh To Te Kong dan diserahkan kepada Kwan Im untuk dididik.

Versi lain dalam cerita Se Yu Ki (Xi You Ji) menyebutkan bahwa Shan Cai adalah putera siluman kerbau Gu Mo Ong (Niu Mo Wang) dengan Lo Sat Li (Luo Sa Ni). Nama asliNya adalah Ang Hay Jie (Hong Hai Erl) atau si Anak Merah. Karena kenakalan dan kesaktian Ang Hay Jie, Sang Kera Sakti Sun Go Kong / Sun Wu Kong meminta bantuan kepada Kwan Im Pho Sat untuk mengatasiNya.

Akhirnya Ang Hay Jie berhasil ditaklukkan oleh Kwan Im Pho sat dan diangkat menjadi muridNya dengan panggilan Shan Cai. Dalam hal ini, banyak orang yang salah mengerti dan menganggap bahwa salah 1 (satu) pengawal Kwan Im Po Sat adalah Lie Lo Cia (Li Ne Zha), yang penampilanNya memang mirip dengan Ang Hay Jie. Secara khusus terdapat perbedaan diantara keduaNya, Lie Lo Cia menggunakan senjata roda api di kakiNya, sedangkan Ang Hay Jie menggunakan semburan api dari mulutnya. Lie Lo Cia adalah anak dari Lie King dan Ang Hay Jie adalah anak dari Gu Mo Ong.

Saturday, March 1, 2014

Masuknya Agama Buddha ke China

Agama Buddha berkembang ke China sekitar abad kedua sebelum masehi melalui Asia Tengah dan mulai berpengaruh pada masa pemerintahan Kaisar Ming (58-75 M). Sejak dinasti Han (202-­220 M), agama Buddha mulai mendapat perhatian. Kira-kira pada masa itulah Mo Tzu menyusun bukunya Li-huo-lun (Menangkis Kekeliruan) sebagai apologia bagi agama Buddha.

Pada tahun 147 M seorang bhiku dari Asia Tengah bernama Lokaraksha telah menetap di Loyang, ibukota dinasti Han masa itu. Pada abad ke-2, ke-3, dan ke-4 banyak bhikkhu dari India pergi ke China dan menyalin berbagai Sūtra dan sastra dalam bahasa China.

Pada tahun 399 M seorang bhiku China bermana Fa Hien, bersama rombongannya yang terdiri atas 10 orang, melakukan perjalanan ke India melalui jalan darat untuk mempelajari agama Buddha. Pada tahun 413 M, beliau pulang melalui jalan laut dan singgah di Sriwijaya (Sumatera) dan Jawa. Beliau menyalin berbagai sūtra. Catatan beliau mengenai negara-negara Buddhis (Record of Buddhist countries) terkenal sampai kini.

Dalam masa dua setengah abad, setelah Bhiku Fa-Hien, banyak lagi peziarah yang terdiri dari bhiku-bhiku China, berangkat ke India. Tetapi catatan perjalanan mereka lenyap, kecuali petikan-petikan singkat yang terdapat pada berbagai naskah kuno. Menjelang awal abad ke-7 M, seorang bhiku Cina bernama Huan­ Tsang melakukan perjalanan lagi ke India dan catatan perjalanan beliau pada berbagai wilayah barat itu (Record of West­ern Regions) merupakan salah satu sumber sejarah sampai kini. Beliau merasa tidak puas menyaksikan agama Buddha yang dicintainya telah kehilangan pengaruh di anak benua India.


ALIRAN AGAMA BUDDHA AWAL DI CHINA

Aliran-aliran agama Buddha yang berkembang di China secara garis besar terbagi  dalam dua pandangan, yaitu (1) aliran-aliran dari pandangan Atta dan (2) aliran-aliran dari pandangan Anatta.

Aliran yang mula-mula berkembang di China adalah Theravāda, yang terbagi dalam tiga aliran, yaitu :

Cheng-shih (di India dinamakan aliran Sautantika), yang berpandangan bahwa Dhamma dan kehidupan itu hanya realitas maya. Aliran itu berkembang di China sampai abad ke-6, lalu mulai mundur, dan kemudian lenyap pada abad ke-8 setelah aliran San-lun (Mahāyāna) muncul.

Chu-she (di India dinamakan aliran Vaibashika), berpandangan bahwa Dhamma dan kehidupan itu mempunyai realitas. Aliran itu berkembang sampai abad ke-7 dan kemudian lenyap setelah aliran Mahāyāna muncul.

Lu, yaitu aliran yang mempertahankan peraturan yang ketat bagi kehidupan Sagha berdasarkan Vinaya Piaka. Ajaran dari aliran ini dikembangkan dan disempurnakan oleh Tao­shuan (596-667 M), seorang bhiku terkemuka dari Gunung Selatan. Peraturan yang ketat itu termasuk 250 "larangan" bagi bhiku dan 348 "larangan" bagi bhikuni. Lambat laun aliran tersebut meresapi ajaran-ajaran aliran lain sehingga tidak lagi merupakan aliran tersendiri.

Ketiga aliran tersebut tidak bertahan lama karena masuknya aliran Mahāyāna yang lebih mudah berkembang di China, sehingga pada akhirnya pengaruh Theravāda lenyap dari bumi China.

Dalam aliran Mahāyāna di China, berkembang tujuh aliran besar, yaitu :
aliran San-lun
aliran Wei-shih
aliran Tien-tai
aliran Hua-yen
aliran Chan
aliran Ching-tu
aliran Chen-yen

Di antara tujuh aliran itu, hanya empat paling berpengaruh dan merupakan inti dari agama Buddha di China. Keempat aliran itu adalah Tien-tai, Hua-yen, Chan, dan Ching-tu.

Dalam lingkungan agama Buddha di China, ada pameo berbunyi : "Tien-tai dan Hua-yen untuk doktrin; Chan dan Ching­tu untuk kebaktian." Intisari pendirian dari satu persatu aliran tersebut dijelaskan di bawah ini.

Aliran Sun-lun

San-lun artinya Tiga Sūtra. Aliran ini berdasarkan pada tiga karya yang disalin Kumarajiva ke dalam bahasa China. Dua buah di antaranya adalah karya Bhikkhu Nagarjuna dan sebuah lagi merupakan karya muridnya, Deva.

Aliran ini di India dikenal sebagai aliran Madhyamika (Aliran Tengah). Aliran ini berpendirian bahwa seluruh alam luar itu hanya suatu realitas terbatas (qualified reality) belaka, tidak merupakan realitas penuh. Seluruh fenomena dalam alam luar itu sepanjang fragmatis memang suatu kenyataan, dalam pengertian realitas terbatas, bagi tujuan-tujuan praktis. Semuanya itu hanya riil dalam pengertian kenyataan semu belaka. Tidak terdapat satupun dari keseluruhannya itu memiliki Atta (full-Being). Pada akhirnya, semuanya akan kehilangan realitas.

Setiap orang terus menerus dipengaruhi oleh ilusi (khayal) dari tanggapan indrianya. Semuanya itu pada hakikatnya hanya kekosongan belaka. Kekosongan (sunyata) itu saja yang betul-betul unya Vāda (Doktrine of Emptiness).

Suatu kritik yang diajukan terhadap pemikiran unya Vāda adalah apabila pemikiran itu dilanjutkan maka setiap pemikiran (bahkan pemikiran unya Vāda itu sendiri yang mempertahankan serba-kosong itu) adalah tidak riil. Argumentasi di atas itupun, yang menantang unya Vāda, juga tidak riil. Pernyataan terakhir itupun tidak rill. Begitu seterusnya tanpa henti-hentinya.

Sekalipun begitu, aliran unya Vāda itu bukan bersifat pesimistis karena di dalamnya terkandung pula sesuatu yang positif. Jika alam luar itu pada hakikatnya tidak riil dan hanya kekosongan saja yang betul-betul riil, namun hal itu dapat dialami dalam samādhi secara langsung dan pasti, yaitu suatu hal yang tidak dimiliki oleh alam luar, maka kekosongan itu pada hakikatnya berada di mana-mana mencakup segalanya. Jadi segala yang ada itu pada hakikatnya merupakan bagian dari kekosongan itu atau Nirvāa.

Di dalam ungkapan yang lebih mudah untuk dipahami akan dapat dijelaskan sebagai berikut : silahkan pejamkan mata anda dan tutup telinga anda maka segalanya akan berubah menjadi suatu yang kosong (void). Dengan membenamkan diri di dalam kekosongan itu (sewaktu menjalankan samādhi), seseorang mencapai Nirvāa. Di sana terasa ketentraman jiwa, teduh-tenang, suatu diam yang kekal.

Di dalam aliran Madhyamika ini dijumpai dua pengertian tentang kebenaran, yaitu kebenaran umum dan kebenaran tertinggi. Pernyataan bahwa Dhamma dan aku itu ada merupakan hal yang dipandang dari sudut kebenaran umum atau kebenaran alami, yang sifatnya relatif dan pragmatis. Pernyataan bahwa Dhamma dan aku itu senantiasa berubah dari saat ke saat dan itu bukan sesuatu yang tetap ada pada setiap saat merupakan hal yang dipandang dari sudut kebenaran tertinggi. Hanya unya (kekosongan, void) saja yang memiliki realitas yang tidak berubah-­ubah.

Titik tolak aliran Madhyamika itu berpangkal pada Empat Dalil yang pada intinya menolak setiap pandangan tentang : (1) ada, (2) tidak ada, (3) serentak ada dan tidak ada, (4) serentak ada dan bukan tidak ada.

Keempat hal tersebut apabila dibahas satu persatu secara terperinci dengan argumentasi-argumentasi yang padat dan tajam akan memperlihatkan ketajaman dalam penggunaan logika sehingga ketiga Sūtra yang menjadi dasar aliran Madhyamika itu mempunyai kekuatan yang mempesona. Demikian pendapat dari W. Theddore de Bary di dalam buku Sources of Chinese Tradition edisi 1964, menyatakan bahwa George Berkeley (1685-1753) dan David Hume (1711-1776), dua orang filsuf bangsa Inggris yang pendapatnya menggoncangkan alam pikiran di Barat pada abad ke-18, meminjam dalil-dalil Bhikkhu Nagarjuna itu.

Aliran Madhyamika di China (aliran San-lun) ini kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh Dhi-tsang (549-623 M), seorang bhiku yang memiliki ayah dari Parsi dan ibu dari China. Karya-karyanya merupakan penyempurnaan yang menyeluruh bagi aliran Mahāyāna. Akan tetapi aliran itu mulai kurang berpengaruh semenjak abad ke-9 Masehi.


Aliran Wei-shih

Wei-shih itu bermakna “Hanya Kesadaran”. Aliran ini di India dikenal dengan nama vijñānavāda yang dibangun oleh Asanga. Sebelum karya Asanga disalin ke dalam bahasa China, aliran ini dikenal dengan sebutan She-lun. Aliran ini belakangan dikenal sebagai aliran Fahsiang (Dharmakāya), dibangun oleh Huan-Tsang (596-664 M), seorang bhiku, penulis, dan cendekiawan. Beliau melakukan perjalanan ke India, setelah pulang kembali ke China, beliau dengan tekun menyalin karya-karya kaum vijñānavāda, terutama karya Bhikkhu Dhammapāla yang berjudul Vijñāpti-Matrata-Siddhi (Sistematika dari Hanya Kesadaran, Cheng Wei Shih Lun). Semenjak itu aliran ini lebih dikenal dengan sebutan Aliran Wei-Shih.

Vijñānavāda ini merupakan sebuah aliran Cita-Murni (Pure Idealism). Perwujudan alam luar itu hanya ada di dalam ingatan seseorang. Alam luar itu tidak lain dari maya belaka. Bagi seseorang di dalam samādhi mungkin saja bisa memunculkan di depan mata ingatannya akan segala rupa dari alam luar itu, yang benar-benar mirip menurut kenyataannya sesuai tanggapan indria, namun orang tersebut sadar bahwa semuanya itu tidak memiliki realitas. Justru tanggapan itu, dengan begitu, bukan bukti atas “ada”. Setiap tanggapan itu tidak lain adalah proyeksi dari ingatan belaka, yakni dari kesadaran seseorang.

Meskipun begitu, kaum Vijñānavāda mengakui ada sesuatu yang bebas dari pemikiran manusia, “ada yang murni”, dan menyeluruh tanpa ciri, yang tidak bisa diberi predikat olah karena ada itu sendiri tanpa predikat. “Ada yang Murni” dan menyeluruh itu disebut dengan Tathatā. Tathatā itu merupakan sebutan bagi Maha Pencipta, Tathatā itu bermakna “Kenyataan”. “Kenyataan” itu merupakan sesuatu yang dapat ditunjuk oleh kesadaran tetapi tidak dapat dilukiskan.

Mengenai pengertian Tathatā, ada yang menafsirkannya sebagai pengaruh dari ajaran Tao dari Lao-Tzu. Mengenai ajaran bahwa Tathatā itu merupakan sesuatu “Ada yang Murni” tanpa predikat, ada yang berpendapat bahwa ajaran itu berpengaruh terhadap aliran Iktizal di dalam Islam, suatu aliran yang dibangun di Basrah oleh Washil ibn Athak (689-748 M) dan Amru ibn Ubaid (699-757 M), kemudian berkembang ke Baghdad dan pada masa pemerintahan Khalif Al Makmun (813-833 M) diakui sebagai aliran resmi yang menggantikan aliran Sunni.

Mengenai ajaran tentang Keselamatan (Salvatian), yakni Moksha yang akan membebaskan Dukkha, kaum Vijñānavāda berpendapat bahwa hal itu hanya dapat dicapai dengan menghabiskan perbendaharaan kesadaran sampai “Ada yang Murni”, sehingga akhirnya sama dengan Kenyataan (Tathatā). Jalan satu-satunya untuk mencapai hal itu hanya dengan menjalani Yoga, yang terbagi atas Kriya yoga dan Raja yoga.

Tathatā atau “Kenyataan” itu dapat dicapai dengan empat hikmat, yaitu :
1.   hikmat laku, terdiri atas lima tingkat kesadaran.
2.   hikmat tinjauan, pemusatan kesadaran indria.
3.   hikmat ingatan, pemusatan kesadaran ingatan.
4.   hikmat Kaca-Maha-Agung, berupa kesadaran tertinggi, yang melenyapkan diri ke dalam Keituan.


Aliran Tien-tai

Aliran Tien-tai dalam agama Buddha mendapatkan kedudukan penting dalam filsafat China. Di Jepang disebut dengan aliran Nichiren.

Pada mulanya aliran ini berdasarkan pada Saddharma-Pundarika-Sūtra (Seroja dari Hukum Terbaik), tetapi dalam perkembangannya, penafsiran terhadap karya tersebut yang diberikan oleh Chih-kai (538-597 M) menjadi pegangan utama. Chih-kai adalah nama seorang Bhiku yang berasal dari wilayah Gunung Tien-Tai di provinsi Chekiang, tempat Bhiku Chih-kai membuka perguruannya.

Seroja Hukum Terbaik itu, menurut pendapat Guru Besar dari Tien-tai, adalah Sūtra Mahāyāna yang paling mudah untuk dipahami oleh kalangan umum, karena bukan karya theologis yang berbelit-belit, tetapi langsung memberikan tuntutan ke arah keselamatan melalui praktek.

Pandangan-pandangan Chih-kai dicatat dan dihimpun oleh muridnya, Kuan-ting, dan merupakan tiga karya besar dari aliran Tien-tai, yaitu :
1.   Fa-hua wen-chu, tentang kata dan kalimat di dalam Seroja.
2.   Fa-hua hsuan-i, tentang pengertian yang lebih dalam dari Seroja.
3.   Mo-ho chi-kuan, tentang kesadaran dan renungan.

Pada masa itu, agama Buddha di China memperlihatkan dua ciri. Di wilayah bagian selatan lebih mengutamakan pembahasan­-pembahasan secara rasional dan filosofis. Sedangkan di wilayah bagian utara lebih mengutamakan kepercayaan dan penghormatan terhadap tata tertib. Belahan selatan bersifat intelektual sementara belahan utara bersifat disiplin.

Chih-kai berasal dari selatan, tetapi gurunya, Hui-tsu (514­-577 M) berasal dari utara. Dengan begitu menurut pemeo China, pada diri Chih-kai itu bersatu dua sayap burung. Ajaran Tien-tai mengutamakan suatu prinsip yang disebut dengan Keselamatan Sempurna melalui Tiga Kebenaran, yaitu :
1.   Seluruh “unsur” (Dharma) dan “aku” merupakan suatu kekosongan belaka, yang dihasilkan oleh hukum sebab-akibat, serta tidak memiliki ciri kedirian.
2.   Semuanya hanya “Ada Sementara”.
3.   Disebabkan kosong dan sementara, maka watak khusus dari segalanya itu hanya “pengertian-pengertian” belaka.

Ketiga hal tersebut (kosong, sementara, pengertian) saling berkaitan satu dengan lainnya, dengan demikian, “Satu adalah Tiga” dan “Tiga adalah Satu”. Kesatuan itu merupakan “ada-Kenyataan” yang relatif tetapi memiliki kemiripan dengan Yang Mutlak.

Titik berat terpenting pada aliran Tien-tai terletak pada kesadaran dan renungan sebagai jalan untuk menuju “Kebenaran Terakhir”. “Kebenaran Terakhir” itu terjelma pada saat-saat dalam Ekstasi. Ada Sementara’ itu memiliki kepribadian-Buddha di dalam dirinya dan justru bisa diselamatkan melalui kesadaran dan konsentrasi. Dalam hal ini, sarjana menilai sebagai pengaruh ajaran Atman dan Brahman dari agama Hindu.


Aliran Hua-yen

Aliran Hua-yen bermakna Kalung Bunga (Flower Gar­land School). Aliran Hua-yen ini berdasarkan Avatamsaka-Sūtra, sebuah karya dari India Utara, yang mengemukakan ajaran Sakyamuni dalam kedudukannya sebagai penjelmaan Buddha Vairochana. Aliran tersebut di India sendiri tidak pernah ada. Sedangkan Vairochana itu, di dalam Upanishads yang merupakan kitab suci agama Hindu, adalah penamaan bagi pemimpin kodrat-kodrat rohani yang mempunyai sifat tertentu.

Aliran ini mula-mula dibangun oleh Tua-shun (557-640 M), kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh Fa-tsang (643-712 M), seorang Guru Besar dari Hsien-show. Dengan demikian aliran ini berasal dari daerah asal guru besarnya.

Pokok ajaran utama dalam aliran Hua-yen adalah Kausalitas Univeral, yaitu Hukum Sebab Akibat yang Universal. Alam semesta itu tercipta dengan serentak dan ini yang disebut alam Hukum (Dharmadhatu) oleh aliran Hua-yen.

Seluruh unsur (Dharma) dan aku memiliki tiga ciri yang saling berlawanan, yaitu :
1.   umum khusus
2.   persamaan ­perbedaan
3.   kesatuan perpisahan.


Aliran Ching-tu

Aliran Ching-tu biasa disebut aliran Sukhavati (Happy Land School), didasarkan pada Sukhavati-Vyusha-Sūtra

Keadaan di dalam Sukhavati digambarkan dengan keadaan yang sangat menggiurkan siapapun. Kesenangan yang bagaimanapun sempurnanya di dunia ini tidak berarti bila dibandingkan dengan kesenangan yang bakal dinikmati di dalam Sukhavati. Oleh karena itulah aliran Ching-tu memperoleh pengaruh yang kuat dan luas dari kalangan umum di seluruh China.

Sukhavati dikuasai oleh Buddha Amitābha. Di China disebut dengan Kwan-Yin dan di Jepang disebut dengan Amida. Setiap orang yang menginginkan kebenaran dan pencerahan, senantiasa memusatkan pemikiran dan renungan terhadap Amitābha, pada saat menghembuskan napas yang penghabisan mengucapkan nama-Nya, maka Buddha Amitābha dengan segala pengiringnya akan menyambut orang itu dan langsung membawanya ke Sukhavati.

Para pengikut aliran Ching-tu sangat mengutamakan samatha, ketenangan batin.


Aliran Chan

Aliran Chan di China dikenal di India dengan sebutan aliran Dhyāna dan di Jepang dikenal dengan sebutan aliran Zen. Dhyāna berarti meditasi (samādhi). ”Chan” dan ”Zen” adalah perubahan bunyi (transliterasi) dari dhyāna menurut dialek China dan dialek Jepang. Aliran Chan bersifat mistik. Buddha Gotama pada masa hidup-Nya, menurut aliran Chan, tidak memberikan dan membukakan ”Ilmu Tertinggi” kepada siapapun, kecuali kepada seorang murid-Nya yang amat penting, Bhikkhu Mahā Kassapa, satu-satunya murid yang sanggup memahaminya. Bhikkhu Mahā Kassapa dipandang sebagai Bhikkhu Pertama (Dirs Patriarch) menurut silsilah di dalam aliran Chan.

Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa keadaan yang serupa dijumpai dalam lingkungan agama Islam. Tharigat Naksyahandi menyatakan bahwa Salman Al Farisi adalah Imam Pertama dari Tharigat karena Nabi Muhammad S.A.W. tidak memberikan dan membukakan Ilmu Tertinggi dari Thariqat kecuali kepada Salman Al Farisi. Ada rantai silsilah hingga sampai kepada pembangun Thariqat tersebut, yaitu Muhammad bin Baharuddin Al Naksyabandi (1338-1412 M), yang berasal dari Asia Tengah.

Demikian pula halnya dengan aliran Chan yang menyatakan bahwa Bhikkhu Mahā Kassapa hanya mewariskan hikmat rahasia itu kepada penggantinya, demikian terus menerus hingga berjumlah 27 orang Bhikkhu di India. Bhikkhu yang ke-8 bernama Bodhidharma yang meninggalkan India dan berlayar ke China pada tahun 527 (masa pemerintahan Liang Wudi dari dinasti Liang). Bodhidharma menetap selama 9 tahun di Vihāra Saolin, di pegunungan Song, serta menunjuk Bhiku Hui-ke sebagai penggantinya.

Di China, ”Kebenaran rahasia” itu diwariskan secara turun temurun. Secara berturut-turut Bhiku Hui-ke digantikan oleh Seng Can, Dao Xin, Hong Ren, dan Hui Neng (638-713 M) dalam kedudukannya sebagai Bhiku Keenam (Sixth Patriarch). Murid Hui-neng yang terkenal adalah Nanyue Hua Rang (677-744), Qingyuan Xingsi (660-740), Yongjia Xuang Xuang jue (665-713), Nanyang Huizon (677-775), dan Heze Shenhui (670-758 M.).

Aliran Chan bersikap agak bebas dalam mempelajari berbagai Sūtra Mahāyāna. Aliran ini tidak mengikatkan diri pada Sūtra tertentu. Begitu pula terhadap berbagai aliran filsafat dan theogoni di dalam aliran Mahāyāna. Aliran Chan lebih mengutamakan pendekatan secara kerohanian (intuitif) untuk mencapai ”Kesadaran Tertinggi”.

Dengan begitu aliran Chan tidak berdasarkan Sūtra tertentu dan tidak mengutamakan kata-kata maupun kalimat-­kalimat yang dijumpai di dalam Sūtra tersebut.

Segala ajaran di dalam aliran Chan lebih mengutamakan saluran ”ingatan-ke-ingatan” (mind-to-mind). Mereka berpegang pada kisah bagaimana Buddha Gotama (563-483 SM) pada suatu waktu menyampaikan ajaran-Nya tanpa mengucapkan sepatah katapun, tetapi hanya memandangi mata seorang murid-Nya. Beliau lalu membuat ”gerak-kecil dengan jarinya”. Murid itu mendadak menerima suatu ”Ilmu Tertinggi”. Aliran Chan tidak mempergunakan argumentasi-argumentasi yang rasionil maupun rumusan-rumusan theologies yang demikian pelik.

Sifat kepribadian pada aliran Chan amat kuat sehingga para pengikutnya kurang menaruh hormat terhadap patung-patung pujaan. Sikap aliran Chan ada yang menilai agak bersifat icono­-clastic, yakni menolak pemujaan patung-patung, karena pujaan-­pujaan lahiriah itu tidak membawa kepada ”Tujuan Tertinggi”. Titik berat ajarannya lebih mengutamakan disiplin, yakni ketaatan dan khidmat yang sepenuh-penuhnya kepada ”Guru”. Hanya ”Guru” saja yang secara resmi dan pasti dapat menuntun seorang Murid kepada pencerahan dan kebenaran untuk mencapai ”Kepribadian Buddha”.

Aliran Chan berpendirian bahwa ”Kepribadian Buddha” hidup terbenam dalam diri manusia dan melalui renungan di dalam samādhi, maka ”Kepribadian-Buddha” itu dapat dilihat.

Isi ”Kepribadian Buddha” adalah kekosongan (suññatā) yang berarti kosong dari setiap ciri-ciri khusus. Alam lahir dengan seluruh ciri-ciri khusus itu hanya khayal (maya) belaka. Jalan satu-­satunya untuk mendekati ”Kebenaran Terakhir” itu adalah melalui samādhi, yang terbagi dalam dua macam, yakni :
1.   Tathāgata-Meditation, yaitu cara samādhi dari Buddha Gotama, mempergunakan kodrat-kodrat renungan.
2.   Patriarchal-Mediation, yaitu cara samādhi yang diajarkan oleh Bhiku Bodhidharma, meniadakan pemikiran dan memusatkan kesadaran rohani guna mencapai ”Kepribadian Buddha”.

Di dalam kesadaran rohani itu semua batas pandangan dilenyapkan, seluruh pengharapan-pengharapan dipusatkan, dan satu-satunya tujuan adalah menyaksikan ”Kebenaran Terakhir” itu. Guru-guru Besar dari aliran Chan itu pada masa-masa kemudian sengaja mengajar dan berbicara dalam bahasa biasa. Tidak lagi menggunakan laku dan gerak yang penuh rahasia dan teka-teki. Hal inilah yang menyebabkan aliran Chan itu populer di China.

Tentang kesadaran rohani itu terdapat dua paham pada masa Imam ke-enam Hui-Neng (638-713 M) masih hidup, yaitu:
1.   Kesadaran Mendadak, dianut oleh aliran Selatan yang didirikan oleh Hui-Neng, kemudian dikembangkan oleh Shen­hui (670-762) dan pada masa akhir dinasti Tang tumbuh menjadi lima cabang perguruan dan secara bersama-sama membentuk lima perguruan Chan di China yang terkenal sampai sekarang.
2.   Kesadaran Berangsur, dianut oleh aliran Utara, berdasarkan ajaran dari Shen-Hsiu (605-796 M). Aliran utara itu bertahan tidak lama lalu lenyap.


Aliran Chen-yen

Chen-yen bermakna ”Kata yang Benar”. Aliran Chen-yen berpendirian bahwa alam semesta itu berisi tiga misteri, yaitu pikiran, ucapan, dan perbuatan. Tiga misteri itu menyimpan kodrat-­kodrat yang bersifat magis.

Seluruh alam lahir yang merupakan penjelmaan pikiran, ucapan, dan perbuatan itu adalah manifestasi dari ”Buddha-Matahari ­Terbesar”. Di sana dirasakan pengaruh mitologi Yunani, yang pada abad ketiga sebelum masehi dibawa oleh pasukan Yunani yang menguasai Asia Tengah dan anak benua India. Orang Yunani pada waktu itu memuja Dewa Matahari (Zeus).

Dengan mempergunakan bahasa rahasia, sajak-sajak mistik, kata-kata mantra, dan sebagainya, maka inti kodrat dari Buddha akan dapat dihubungi oleh manusia dan digunakan untuk sesuatu tujuan. Doktrin ini pada awalnya memperoleh pengaruh besar di China tetapi kemudian berangsur-angsur mundur. Namun dewasa ini dijumpai pengaruhnya di Tibet dan Jepang.


Kemunduran agama Buddha di China

Pada tahun 845 agama Buddha di China menghadapi cobaan berat. Kaisar Wu Zong yang berkuasa mengeluarkan perintah untuk melenyapkan pengaruh agama Buddha atas pertimbangan ekonomi. Lebih dari 4.600 vihāra dan 40.000 biara di wilayah kerajaan dihancurkan, lebih dari 260.500 bhiku-bhikuni dipaksa kembali ke kehidupan rumah tangga sementara lebih dari 150.000 dipaksa menjadi pekerja kerajaan. Dan tidak dapat dibayangkan banyaknya karya-karya sūtra dan sastra yang ditulis selama 6 dinasti ikut terbakar dan hancur.

Dalam keadaan yang sulit tersebut, agama Buddha dari aliran Chan saja yang dapat bertahan dan tidak banyak terpengaruh karena aliran ini tidak tergantung pada kitab-kitab ataupun upacara-upacara. Bhiku-bhiku aliran Chan dapat bekerja sendiri­sendiri untuk mendapatkan nafkahnya dan tidak tergantung dari masyarakat.

Krisis yang terjadi pada masyarakat China setelah runtuhnya dinasti Han telah diwarnai oleh nilai-nilai yang dibawa oleh ajaran agama Buddha yang masuk melewati Asia Tengah. Diseluruh wilayah kerajaan, baik di utara, selatan, maupun suku-suku nomad (pengembara) serta di lingkungan kaum terpelajar maupun masyarakat umum, agama Buddha diterima dengan tangan terbuka. Kemudian agama Buddha ikut berkembang dalam pasang surutnya dinasti-dinasti.

Ajaran agama Buddha mempunyai pengaruh yang kuat dalam kebudayaan China. Ajaran Mahāyāna membawa pengaruh terhadap seni patung dan seni lukis di negeri ini. Agama Buddha juga menambah perbendaharaan bahasa China serta menambah wawasan pandangan dan pemikiran bangsa China. Keberadaan ajaran Kong Hu Chu dan Tao yang ada tidak cukup kuat untuk menahan para cendekiawan pergi ke India mempelajari pandangan-pandangan baru. Menjelang akhir abad ke-8, kebudayaan China berkembang ke arah yang sebaliknya. Ketimpangan kehidupan biara dan kerajaan telah dijadikan alasan bagi penguasa untuk mengesampingkan agama Buddha dan mengembalikan pandangan asli yang berdasarkan ajaran Kong Hu Chu dan Tao. Beberapa waktu kemudian kedua ajaran asli China mengalami zaman kebangkitan kembali pada abad ke 10.