Selamat datang di Golden World Blog. Semoga semua mahkluk hidup berbahagia. Sadhu Sadhu Sadhu.

Saturday, December 27, 2014

INJIL MATIUS DAN KE-BUDDHA-AN

Seorang mahasiswa bertanya kepada guru Zen Gasan:

"Pernahkah anda membaca Kitab Injil?"
"Belum, tolong bacakan." Jawab Gasan.

Mahasiswa tersebut membuka Injil dan membaca dari Kitab Matius:

"Mengapa engkau khawatir akan pakaianmu? Lihatlah bagaimana bunga-bumga bakung tumbuh di padang. Bunga-bunga itu tidak bekerja dan tidak menenun; dan kukatakan padamu, bahkan Raja Solomon yang begitu kaya pun, tidak memakai pakaian sebagus bunga-bunga itu! Oleh sebab itu, janganlah khawatir tentang hari esok, sebab esok akan mengatasi segala sesuatunya."

Gasan berkata: "Siapapun yang mengatakan itu, saya rasa seorang yang tercerahkan."

Sang mahasiswa melanjutkan membaca: "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; Carilah, maka kamu akan mendapat; Ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima; Setiap orang yang mencari, mendapat; Dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan."

Gasan berkata: "Luar biasa! Siapa pun yang mengatakan itu, ia tidak jauh dari Ke-Buddha-an."
(101 Koan Zen, by Paul Reps & Nyogen Senzaki; penerbit Karaniya & Ehipassiko)
ALAM-ALAM KEHIDUPAN
oleh :Cornelis Wowor, M.A.




Menurut pandangan Agama Buddha, bumi kita ini hanya merupakan salah satu titik kecil saja di alam semesta, dan bumi bukan merupakan satu-satunya tempat kehidupan makhluk. Juga bukan hanya manusia dan binatang yang merupakan makhluk yang hidup di bumi ini. Jumlah bumi di alam semesta ini banyak sekali dan begitu pula dengan makhluk hidup.'

Kelahiran dapat terjadi di alam yang lain. Ada 31 alam kehidupan yang dapat menjadi tempat kelahiran (kembali) makhluk berdasarkan pada karma baik atau buruk dari makhluk yang bersangkutan (lihat tabel).

Ada empat Alam Tak Menyenangkan (Duggati) yaitu:
1. Niraya (ni+aya: tanpa kebahagiaan) —Alam menyedihkan, tempat makhluk-makhluk menerima dan mengalami hasil dari perbuatan karma buruk.
Niraya terkenal juga sebagai neraka, tetapi bukan merupakan neraka yang kekal bagi makhluk. Setelah kekuatan karma buruknya melemah maka makhluk itu dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik atau menyenangkan sebagai akibat karma baik mereka yang lampau.

2. Tiracchana-yoni —yaitu alam binatang, makhluk yang terlahir menjadi binatang karena adanya karma buruk.
Binatang dapat terlahir kembali di alam manusia sebagai manusia karena hasil dari karma baiknya yang lampau maupun sekarang. Walaupun hidup sebagai binatang, ada binatang-binatang tertentu (anjing, kucing dan lain-lain) yang hidup lebih baik daripada manusia. Kehidupan yang baik dari binatang tersebut karena hasil dari karma baiknya yang lampau.

3. Peta —yaitu makhluk yang tak merasakan kesenangan.
Makhluk-makhluk di alam peta ini dikenal sebagai setan atau "hantu".
Peta merupakan makhluk-makhluk yang berbentuk tak sempurna, dan berbeda-beda bentuk. Dalam Anguttara Nikaya II disebutkan bahwa ada tukang jagal yang terlahir menjadi Peta.

Ada empat macam Peta yaitu:
1. Vantasika, peta yang hidup dari muntah.
2. Khuppipasika, peta yang selalu lapar dan haus.
3. Nijjhamatanhika, peta yang selalu haus
4. Paradattupajivika, peta yang hidup berdasarkan dana dari orang lain.
Paradattupajivika peta yang disebutkan dalam Tirokkuda Sutta, adalah peta yang bila mendapat "pembagian" atau "kiriman jasa" dari keluarganya yang masih hidup, maka ia dapat tertolong dan akibatnya ia dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik atau menyenangkan. Tetapi sesungguhnya tidak ada pembagian, pelimpahan atau kiriman jasa kepada mereka. Mereka tertolong karena mereka melihat keluarga mereka berbuat kebaikan atas nama mereka. Ketika mereka melihat perbuatan baik dari keluarga mereka itu, yang dilakukan atas nama mereka, mereka menjadi senang dan turut bergembira (mudita citta) dengan perbuatan baik itu. Karena ia memunculkan pikiran baik (mudita citta) pada dirinya sendiri, maka secara langsung ia telah berbuat karma baik melalui batinnya sendiri. Karma baik inilah yang menolong peta tersebut, yaitu karma baik yang dibuatnya sendiri.

4. Asura.
Alam tempat setan Asura. Asura, secara harfiah, berarti makhluk yang bersinar. Asura merupakan makhluk yang tak bahagia seperti peta. 

Tujuh Alam Menyenangkan (Suggati) yaitu:
1. Manussa —Alam Manusia.
Alam manusia merupakan alam campuran antara menyenangkan dan menyedihkan. Para Bodhisattva memilih Alam Manusia sebagai alam yang tepat untuk melayani dunia dan untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Para Buddha selalu lahir sebagai manusia.

2. Catummaharajika —Alam Dewa Empat Penjuru.
Alam ini merupakan alam kehidupan dari para dewa pelindung di empat penjuru bersama para pengikut mereka. Dewa pohon, dewa bumi, dewa angkasa, dan lain-lain termasuk dalam alam dewa ini.

3. Tavatimsa —Alam Surga dari Tiga Puluh Tiga Dewa, alam dari Raja Dewa Sakka.
Dalam alam surga ini Sang Buddha mengajarkan Abhidhamma kepada para dewa selama tiga bulan.

4. Yama —Alam surga pada Dewa Yama.

5. Tusita —Alam Surga Menyenangkan.

Biasanya pada Bodhisattva yang hampir sempurna paramita mereka hidup di alam surga ini. Alam surga ini merupakan alam terakhir bagi Bodhisattva sebelum terlahir di alam manusia sebagai manusia untuk menjadi Samma Sambuddha.
Ratu Mayadevi, tujuh hari setelah melahirkan Pangeran Siddharta, meninggal dunia dan terlahir di alam ini. Dari alam ini beliau ke alam Surga Tavatimsa untuk mendengar abhidhamma yang diajarkan Sang Buddha.

6. Nimmanarati —Alam surga dari para dewa yang menikmati kesenangan istana-istana yang diciptakan mereka.
7. Paranimmitavasavatti —Alam surga dari dewa yang menikmati ciptaan-ciptaan para dewa lain. Kehidupan para dewa di alam ini bagaikan orang yang selalu diundang ke pesta yang besar, meriah dan mewah.
Alam-alam, yaitu alam Catummaharajika, Tavatimsa, Yama, Tusita, Nimmanarati dan Paranimmitavasavatti merupakan alam surga dari para dewa yang tubuh fisik mereka adalah lebih halus dan lebih bersih daripada tubuh manusia. Tubuh para dewa tak dapat dilihat oleh mata fisik manusia biasa. Makhluk di alam-alam surga ini pada suatu saat akan meninggal atau lenyap dari alamnya masing-masing dan terlahir kembali di alam lain sesuai dengan karma yang masih mereka miliki. Walaupun kehidupan para dewa di alam surga lebih menyenangkan atau melebihi kehidupan manusia, namun kesucian dan kebijaksanaan belum tentu melampaui kesucian dan kebijaksanaan manusia.

Makhluk-makhluk yang terlahir di alam ini berdasarkan karma baik mereka seperti melaksanakan dana, sila dan perbuatan karma baik lain. Tapi bila karma baik mereka telah habis dan tak sempat mengembangkan batin dengan belajar dan melaksanakan dharma, maka para dewa akan menemui ajal dan terlahir kembali di alam dewa yang lebih rendah atau di alam manusia.

Empat Alam Tak Menyenangkan (Duggati) dan tujuh Alam Menyenangkan (Suggati) diklasifikasikan sebagai Alam Nafsu (Kamaloka) karena dalam sebelas alam ini, nafsu keinginan sangat kuat.
Lebih tinggi dari Alam Nafsu (kamaloka) adalah alam-alam Brahma atau Rupa-Loka (Alam Bentuk) dimana makhluk-makhluk menikmati kesenangan Jhana yang dihasilkan oleh meditasi. Makhluk-makhluk di alam-alam ini tak memiliki nafsu indera dan mereka pun tak memiliki kelamin.

Rupaloka terdiri dari 16 alam dibagi sesuai dengan tingkat Jhana yang dicapai. Alam-alam itu adalah:
a. Alam Jhana Pertama
1. Brahma Parisajja —Alam Pengikut Brahma.
2. Brahma Purohita —Alam Para Menteri Brahma.
3. Maha Brahma —Alam Maha Brahma.
Alam-alam ini dicapai oleh seorang apabila ia meninggal pada saat berada dalam meditasi dan mencapai Jhana I. Jika Jhana I kuat sekali maka ia terlahir di alam Maha Brahma; sedang terlahir di alam Brahma Purohita; dan agak lemah terlahir di alam Brahma Parisajja. Dari ketiga alam Jhana I ini, Maha Brahma melebihi kedua alam lain dalam hal: kebahagiaan, keindahan dan batas manusia.

b. Alam Jhana Kedua 
4. Parittabha —Alam Brahma Cahaya Kecil.
5. Appamanaha —Alam Brahma Cahaya Tanpa Batas.
6. Abhassara —Alam Brahma Gemerlapan.
Perbedaan kelahiran dari orang yang telah mencapai Jhana II tergantung pada kekuatan Jhana II.

c. Alam Jhana Ketiga

7. Parittasubha —Alam Brahma Aura Kecil.
8. Appamansubha —Alam Brahma Aura Tanpa Batas.
9. Subhakinha —Alam Brahma Aura Tetap.
Kelahiran di alam-alam ini tergantung pada kekuatan Jhana III.

d. Alam Jhana Keempat 
10. Vehappala —Alam Brahma Pahala Besar.
11. Asannasatta —Alam Brahma Tanpa Pikiran.


Dikatakan bahwa bila pada makhluk Asannasatta muncul pikiran maka ia lenyap dari alam ini dan terlahir di alam lain.

Lima alam berikut ini disebut alam Suddhavasa atau Alam Kediaman Suci, yaitu:
12 Aviha
13. Atappa
14. Sudassa
15. Sudassi
16. Akanittha

Makhluk yang dapat terlahir di lima alam Suddhavasa ini hanya para Anagami; yaitu para Anagami yang tak melaksanakan meditasi atau yang meninggal pada saat berada dalam Jhana I, II, III atau IV. Jika Anagami berada dalam Jhana maka ia akan terlahir di alam sesuai dengan Jhana yang dicapainya. Orang biasa, Sotapanna maupun Sakadagami yang telah mencapai Jhana IV tidak dapat terlahir kembali di salah satu alam Suddhavasa ini, kecuali di alam Vehapphapala dan Assannasatta. Anagami yang mencapai Jhana IV dan meninggal pada saat berada dalam Jhana IV akan terlahir kembali di alam Vehapphala, tetapi tidak di alam Assannasatta.

Di samping Alam Bentuk (Rupaloka) ada Alam Tanpa Bentuk (Arupaloka). Alam Arupa adalah alam tanpa jasmani. Dalam Arupaloka tidak ada kelamin. Alam ini dicapai setelah orang sukses dengan meditasi dan mencapai Arupajhana.

  1. Arupaloka terdiri dari empat alam yaitu:Akasanancayata —Alam Ruang Tanpa Batas
  2. Vinnanan cayatana —Alam Kesadaran Tanpa Batas. 
  3. Akincanacayatana —Alam Kekosongan. 
  4. N'eva Sanna Na sannayatana —Alam Bukan Ide Maupun Bukan Ide.
Makhluk-makhluk yang belum melenyapkan semua kekotoran batinnya akan terlahir kembali di salah satu dari 31 alam berdasarkan pada perbuatannya. Bagi para Arahat atau Buddha yang telah melenyapkan semua kekotoran batin, bila mereka meninggal dunia (parinibbana) tidak akan terlahir kembali di salah satu 31 alam. Ketika para arahat dan Buddha meninggal, mereka parinibbana atau meninggal secara total.
 MEDITASI SAMATHA BHAVANA SESUAI WATAK
 
Jalan Utama Berunsur Delapan mengajarkan mengenai Samma Samadhi (meditasi benar). Buddha menegaskan bahwa keberhasilan dalam meditasi juga dipengaruhi oleh pemilihan obyek yang sesuai. untuk itu penting adanya mengetahui diri sendiri agar bisa menentukan obyek yang cocok. adanya kalyana mitta juga penting. pada dasarnya manusia memiliki watak berbeda-beda yang kesemuanya ada tujuh macam. watak merupakan pembawaan yang dihasilkan oleh karmanya. orang yang ingin bermeditasi bila obyek meditasinya tidak sesuai watak dirinya maka akan sulit untuk berkonsentrasi. watak manusia secara umum dibedakan menjadi tujuh buah, ada yang kuat dan ada yang merupakan campuran beberapa watak. berikut ini macam-macam watak manusia dan obyek meditasi yang cocok dari 40 macam obyek meditasi samatha bhavana.
1. Raga Carita (Watak penuh nafsu)
Mereka yang berwatak seperti ini sangat sensitif terhadap nilai-nilai keindahan dan keharmonisan, mudah terpengaruh oleh kecantikan wanita atau ketampanan pria, juga akan keindahan musik, literatur, dan lain-lain, yang pada umumnya memuaskan nafsu indera. dalam memenuhi nafsunya orang berwatak raga carita akan melakukan apa saja. Orang berwatak raga  carita bila bermeditasi hendaknya memilih obyek salah satu dari 10 Asubha dan Kayagatasati. 10 asubha merupakan sepuluh obyek yang menjijikkan dan berupa mayat. 10 Asubha adalah dengan melihat perkembangan mayat, mulai dari mayat masih baru, membengkak, pecah, bernanah, berbelatung, sampai hanya tinggal tengkorak saja. Kayagatasati merupakan perhatian terhadap badan jasmani dengan memperhatikan badan jasmani ini tidak indah dan tidak menarik yang hanya merupakan kumpulan dari macam-macam unsur yang sangat menjijikkan
2. Dosa carita (membenci)
Watak dosa carita pada umumnya mudah tersinggung oleh masalah sangat kecil sekalipun dan juga mudah bosan, jenkel, kesal, marah, cemburu, iri hati, membenci dan dendam. orang dengan watak dosa carita akan nampak selalu marah, tidak ramah kepada orang lain, sehingga tidak suka bersahabat atau mendekati orang lain. watak dosa carita bila bermeditasi watak yang cocok ada 8 buah, yaitu 4 kasina warna (merah, putih, biru, kuning) dan 4 Appamana / Brahma vihara (metta, karuna,mudita, upekkha)
3. Moha carita (ketidaktahuan / kebodohan)
Orang yang berwatak moha carita ditandai dengan kurangnya kekuatan kecerdasan yang harus diimbangi dengan usaha belajar dan mendekati serta meminta penjelasan orang-orang mulia yang berpengetahuan lebih baik. orang berwatak moha carita biasanya berperilaku konyol, karena tindakannya yang nampak tidak wajar. obyek yang cocok untuk orang berwatak moha carita adalah Anapanasati (memperhatiak pernafasan). memperhatikan keluar dan masuknya nafas.
4. Vitakacarita (khawatir)
Orang berwatak vitaka carita pikirannya sering tidak terkendali atau kacau, sering cemas akan kesukaran-kesukaran, mudah sekali merubah prinsip, sehingga berperangai sebagai orang yang tidak punya pendirian tetap. orang seperti ini sulit dipegang pernyataannya, sebab ia selalu nampak gelisah, takut dan tidak tenang. obyek yang cocok untuk orang berwatak moha carita adalah Anapanasati (memperhatiakan pernafasan). memperhatikan keluar dan masuknya nafas.
5. Saddhacarita (mudah percaya)
Mudah percaya merupakan tanda kurangnya kecerdasan. Segala sesuatu yang didengar walaupun belum jelas asal-usulnya ia akan mudah percaya begitu saja dan diterima seperti sudah terbukti. sehingga orang berwatak saddha carita mudah sekali tertipu. orang berwatak seperti ini dalam meditasinya mengembangkan obyek 6 Anussati (perenungan), yatu perenungan tentang Buddha, Dhamma, Sangha, Sila, Caga, dan Devata
6. Buddhicarita (intelek)
Kecerdasan tidak selalu menjadi kuntungan. kelebihan darinya dapat menjadi suatu kerugian apabila tidak disertai sikap batin yang pantas atau tidak berdasar pada pengetahuan benar. kelbihan tersebut justru bisa menyeret kedalam jurang pandangan salah. orang berwatak seperti ini akan selalu menolak pandangan atau informasi yang kurang masuk akal. dia akan selalu menganggap pandangan dirinya yang paling benar. obyek yang cocok untuk orang berwatak ini adalah maranasati (perhatian terhadap kematian), upasamanussati (perenungan tentang ketenangan), aharepatikkulasanna (perenungan terhadap kejijikan makanan), catudhatu-vavatthana (analisa empat unsur pembentuk tubuh).
7. Sabbacarita (campuran/kombinasi dari 6 watak)
Tipe ini dapat berwatak intelek, mudah marah, nafsu besar, bodoh, mudah percaya, atau khawatir. obyek meditasi yang cocok adalah 6 kasina (pathavi, apo, tejo, vayo, akasa, aloka) dan 4 Arupa (Akasanancayatana, Vinnanancayatana, Akincannayatana, N'evasanna N'asannayatana)

Sejarah Bendera Buddhis Internasional dan Arti Warna Bendera 

 

Untuk menentukan simbol suatu bangsa atau negara maupun kesatuan, biasanya ditandai dengan panji atau bendera. Untuk menciptakan simbol- simbol tersebut tidak sembarangan, karena merupakan suatu `pengenalan' yang otentik. Seperti halnya bendera negara Republik Indonesia yang hanya dua warna, merah dan putih, diakui dunia sebagai hasil ciptaan almarhumah Fatmawati, istri Presiden Pertama RI, Ir Soekarno.
Membicarakan hal ini, dalam memperkenalkan bendera Buddhis secara internasional pun memerlukan rancangan yang serius. Seperti yang dituturkan Col. HS. Olcott dalam bukunya yang berjudul "Old Dairy Leaves", tentang sejarah terciptanya Bendera Buddhis internasional.

Fundamental
PADA suatu ketika di bulan Februari 1885, kawan-kawanku dari Colombo (Sri -Lanka) yang tergabung dalam Panitia Pertahanan Buddhis Sri Lanka (Buddhis Defence Committee), mendapat sebuah gagasan untuk membuat bendera yang dapat menjadi symbol dan lambang yang kelak dapat diterima oleh semua sekte umat Buddha di dunia.
Hal tersebut merupakan sebuah ide yang teramat bagus. Dan ketika hal itu dicetuskan, dengan serta-merta saya sudah melihat adanya potensi dalam bendera semacam itu, yang kelak dapat menjadi lambang persatuan di kemudian hari.
 
"Hal tersebut akan dapat membantu usaha saya untuk mempersatukan umat Buddha di dunia, yang saya rintis sejak saya terjun dalam Buddha Dharma. Dengan adanya titik-titik ketidaksamaan yang begitu banyak antara ajaran agama Buddha aliran Utara dengan ajaran aliran Selatan, pekerjaan untuk mempersatukan pendapat mereka sungguh saya rasakan kesulitannya", ujar Olcott.
"Namun, melihat dasar fundamental, yang sama antara aliran Utara dan Selatan, maka saya masih mempunyai harapan untuk dapat mempersatukan pendapat mereka dalam merencanakan sebuah bendera persatuan yang dapat diterima oleh semua pihak", tulis Olcott selanjutnya.


Enam Warna
Dalam usaha merencanakan bendera Buddhis tersebut, saudara*saudara saya dari Sri Lanka telah mendapat sebuah pikiran yang sangat orisinil dan unik sekali. Mereka menyarankan, agar bendera Buddhis Internasional tersebut dibentuk dalam warna-warna aura atau cahaya yang ke luar dari badan Sang Buddha ketika Beliau mencapai kesucian di bawah Pohon Bodhi di Bodhgaya.


Mereka berpendapat, bendera yang dibuat dari warna-warna aura Sang Buddha, pasti dapat meniadakan perdebatan-perdebatan antar sekte. Semua sekte tanpa terkecuali, telah lama menerima tradisi warna aura Sang Buddha ini. Sama seperti yang telah mereka terima mengenai gambar dan bentuk patung-patung Sang Buddha.


Dalam tulisannya, Olcott selanjutnya mengatakan : "Kepada panitia, kami menyarankan agar bendera Buddhis tersebut tidak mempunyai atau mengandung arti politik dalam bentuk apapun. Dan harus mempunyai arti serta nilai keagamaan yang mendalam!".


Keterangan :

Colonel Henry Steel Olcott adalah salah satu pendiri Perhimpunan Theosofi dan Presiden Internasional yang pertama dari perhimpunan tersebut. Bersama-sama dengan Panitia Pertahanan Buddhis Sri Lanka yang diketuai oleh Sumangala Sthavira , ia berhasil menciptakan panji tersebut.

Dalam usia 75 tahun, beliau meninggal dunia di India pada tanggal 17 Februari 1907 setelah 32 tahun mengabdi sebagai Presiden Perhimpunan Theosofi.


Colonel Henry Steel Olcott
1832-1907
Panitia kemudian membuat sketsa*sketsa percobaan dari calon bendera/ panji Buddha tersebut. Sebuah sketsa kemudian disarankan oleh panitia berbentuk sebuah bendera yang panjang berkelok-kelok seperti ular.


Menurut pendapat saya, bendera panjang tersebut tidak praktis, dan akan sulit untuk dibawa dalam prosesi. Dan juga bendera seperti itu tidak indah bila dipasang di dinding.
"Saya mengusulkan bentuk bendera yang biasa saja. Setelah contohnya selesai dibuat, bendera tersebut disetujui oleh seluruh anggota panitia dengan suara bulat. Dalam waktu singkat, bendera ini telah menawan hati umat Buddha.


Pada Hari Raya Waisak tahun 1885, bendera tersebut pertama kali mulai dikibarkan di hampir semua vihara dan rumah penduduk di Sri Lanka". demikian tulis Olcott.


Warna-warni yang terdapat pada bendera Buddhis adalah warna biru, kuning, merah, putih, dan jingga atau merah muda. Warna-warni ini disusun secara vertikal lalu disebelahnya ada kelima warna ini yang disusun secara horisontal. Setiap warna mempunyai arti yang berbeda. Warna-warni horisontal melambangkan perdamaian abadi dari ras-ras yang ada di dunia dan keharmonisan dalam kehidupan bersama. Warna vertikal melambangkan perdamaian di dalam dunia ini.


Secara singkat, bendera Buddhis memberikan makna bahwa tidak ada diskriminasi ras ataupun kebangsaan, kedaerahan ataupun warna kulit, bahwa semua makhluk mempunyai potensi mencapai kesucian menjadi Buddha dan mempunyai karakteristik kebuddhaan.


Secara lengkap, keenam warna tersebut adalah :
Dibaca secara berdasarkan Bahasa masing - masing Negara
INDONESIA / INGGRIS / PALI - SANSKERTA
1. Biru Sapphire / Blue / Nila
2. Kuning Emas / Golden Yellow / Pita
3. Merah Tua / CrimsonLohita
4. Putih / White / Avadata
5. Jingga / Scarlet / Mangasta
6. Gabungan ke lima warna di atas / A hue composes of the above five collours / Prabhasvara Prabhasvara

Panji Buddhis Enam Warna atau Sadvarna Dvhaja tersebut bermakna :
1. Biru dari warna rambut Sang Buddha melambangkan bakti atau pengabdian
2. Kuning Emas dari warna kulit Sang Buddha melambangkan kebijaksanaan
3. Merah tua dari warna darah Sang Buddha melambang cinta kasih
4. Putih dari warna tulang dan gigi Sang Buddha melambang kesucian
5. Jingga adalah warna yang diambil dari warna telapak tangan, kaki dan bibir Sang Buddha yang melambangkan semangat
6. Gabungan kelima warna melambangkan gabungan kelima faktor yang telah disebutkan di atas.
Adapun makna sebenarnya istilah "Prabhasvara" adalah bersinar sangat terang atau cemerlang

Kisah Konyol Tentang "Sang Maha Pencipta"

Didalam Kevaddha Sutta ( Sutta ke-11 dari Digha Nikaya ), Sang Buddha menceritakan sebuah kisah kepada Upasaka Kevaddha yang memberikan gambaran tentang keterbatasan-keterbatasan “Sang-Maha-Pencipta” yang oleh kaum Brahmana disebut “Maha-Brahma” ini.
Pada suatu ketika di antara para bhikkhu sangha terdapat seorang bhikkhu yang menjadi ragu-ragu sebagai berikut:
 
“Kemanakah empat unsur (mahabhutarupa) padat, cair, panas dan udara pergi, mengapa tanpa meninggalkan bekas.”
Bhikkhu itu mengembangkan batinnya dengan melakukan meditasi hingga ia memiliki kemampuan batin untuk mengunjungi dan berkomunikasi dengan para dewa.
Kemudian bhikkhu itu pergi ke alam dewa Catumaharajika menanyakan tentang kemana perginya empat unsur itu, namun para dewa tak dapat memberikan jawaban dan menyuruh bhikkhu itu untuk bertemu dengan Empat Raja Dewa yang lebih tinggi dan berkuasa daripada mereka.
Ia pergi menghadap Empat Raja Dewa dan menanyakan pertanyaan itu, namun Empat Raja Dewa tidak dapat menjawabnya dan menyuruhnya untuk pergi ke alam Tavatimsa.
Di alam Tavatimsa para dewa tak dapat menjawab pertanyaannya dan ia disuruh menghadap Sakka / Dewa Indra, raja alam dewa Tavatimsa. Sakka / Dewa Indra, juga tak dapat menjawab pertanyaannya.
Sakka menyuruhnya ke alam Yama, tapi para dewa alam Yama menyuruhnya menghadap Suyama, raja alam dewa Yama. Suyama tak dapat menjawab juga, maka ia ke alam dewa Tusita, menghadap Santusita; ke alam dewa Nimmanarati, menghadap Sunimmita, raja alam Nimmanarati; ke alam Parinimmita Vasavatti, menghadap Vasavatti, raja alam Parinimmita Vasavatti, yang tak dapat menjawab pertanyaannya juga.
Kemudian Ia disuruh pergi ke alam dewa Brahma, tetapi para dewa pengikut Brahma tak dapat menjawab pertanyaannya itu. Lalu para dewa pengikut Brahma ini menyuruhnya untuk menghadap dewa Maha Brahma “Yang Maha Kuasa”, “Maha Tinggi”, “Maha Tahu”, junjungan dari semua, “Pencipta”, “Pengatur”, “Asal Mula Segala Sesuatu” ( Sangkan-Paraning-Dumadi ), “Ayah dari Semua yang Ada dan yang akan Ada”. Oleh para dewa Brhama, Maha-Brahma dinyatakan lebih tinggi dan berkuasa daripada mereka.
Ia pergi menghadap “Tuhan” / “Maha Brahma” dan bertanya:
“Kemanakah empat unsur (mahabhuta), padat, cair, panas dan udara- pergi, mengapa tanpa bekas?”
Setelah Bhikkhu itu berkata, Maha Brahma menjawab:
“Bhikkhu, saya adalah dewa brahma yang maha kuasa, maha tinggi, maha tahu, junjungan dari semua, pencipta, pengatur, asal mula segala sesuatu, ayah dari yang ada dan yang akan ada.”
Kemudian bhikkhu itu berkata kepada Brahma:
“Saya tidak bertanya siapa anda, apakah anda itu benar seperti yang anda katakan. Tetapi yang saya tanya adalah kemanakah empat unsur itu pergi, mengapa tanpa bekas?”
Sampai tiga kali bhikkhu itu bertanya, namun Brahma tetap menjawab yang sama. Kemudian Brahma menarik bhikkhu itu ke sampingnya dan berkata:
“Para dewa pengikut Brahma ini berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang tidak saya ketahui, saya tahu semua, saya mengerti semua, tidak ada yang saya tidak realisasikan. Maka saya tidak menjawab di depan mereka. Bhikkhu saya tidak tahu jawaban ke mana empat unsur itu pergi, lenyap tanpa bekas. Bhikkhu, anda telah berbuat salah, telah bertindak salah karena anda telah melupakan Sang Buddha, anda telah bersusah payah mencari tahu hal ini, mencari jawaban untuk pertanyaanmu. Pergilah menghadap kepada Sang Bhagava. Terimalah jawaban apa pun yang akan diberikannya.”
Bhikkhu itu dalam sekejap lenyap dari alam Brahma dan muncul di hadapan saya, ia memberi hormat dan duduk. Setelah duduk ia bertanya kepada saya:
“Bhante, ke manakah empat unsur pergi, lenyap tanpa bekas?”
Saya menjawab: “Bhikkhu, pertanyaan itu jangan tanyakan seperti yang kau katakan. Tetapi sebaliknya anda harus bertanya,
‘Di manakah unsur padat, cair, panas dan udara,
Panjang dan pendek, halus dan kasar,
bersih dan tak bersih, tidak di temukan?
Di manakah jasmani dan batin dari orang meninggal,
pergi tanpa bekas?’
Jawabannya:
"Kebijakan Arahat, yang tak tampak, yang tanpa akhir, yang dapat dicapai dari beberapa sisi Di situlah unsur padat, cair, panas dan udara, Panjang dan pendek, kasar dan halus, bersih dan tak bersih, tidak ditemukan. Di situlah jasmani dan batin dari"
Di akhir dari khotbah, Upasaka Kevaddha menjadi senang dan gembira.

CATTARI ARIYA SACCANI

Empat Kesunyataan Suci


DALAM khotbah-Nya yang pertama di Tamari Rusa Isipatana yang terkenal dengan nama Dhamma Cakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma), Sang Buddha Gotama telah mengajarkan secara singkat Empat Kesunyataan Suci (Cattari Ariya Saccani), yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma.
Empat Kesunyataan Suci tersebut adalah :
A. KESUNYATAAN SUCI TENTANG DUKKHA (Dukkha Ariyasacca)
Kata "dukkha" disini, yang menyatakan pandangan Sang Buddha tentang kehidupan dan dunia, mempunyai pengertian filosofis yang mendalam dan mencakup bidang yang amat luas.
Dalam khotbah-Nya yang pertama setelah mencapai Penerangan Sempurna, Beliau merumuskan dukkha dengan istilah sebagai berikut :
"Kelahiran, usia tua dan kematian adalah dukkha; kesakitan, keluh kesah, ratap tangis, kesedihan dan putus asa adalah dukkha; berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan yang tidak disenangi, dan tidak memperoleh apa yang diingini adalah dukkha. Dengan ringkas, jasmani dan bathin (segala bentuk kehidupan) adalah dukkha".
Banyak orang salah mengerti terhadap Ajaran ini, dan beranggapan bahwa Buddha Dhamma adalah ajaran pesimistis, yang memandang dunia ini dari sudut negatif. karena itu disini perlu ditegaskan bahwa Buddha Dhamma bukanlah Ajaran yang bersifat pesimistis atau optimistis. Sang Buddha adalah seorang realis dan obyektif; Beliau memandang segala sesuatu menurut hakekat yang sebenarnya berdasarkan Pandangan Terang (Yathabhutamnanadassanam).
Sewaktu menerangkan dukkha, Beliau juga mengakui adanya berbagai bentuk "kebahagiaan", material dan spiritual. Akan tetapi, kebahagiaan-kebahagiaan itu sendiri adalah bersyarat, selalu berubah-ubah dan tidak kekal, karena itu harus digolongkan dalam dukkha (Anicca, Dukkha Viparinamadhamma); dukkha bukan merupakan "penderitaan" dari arti kata umum, tetapi karena "segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha" (yad aniccam tamdukkham).
Karenanya, dukkha disini mempunyai tiga pengertian :
1. Dukkha yang nyata, yang benar-benar dirasakan sebagai derita tubuh atau clerita bathin, seperti sakit, susah hati (dukkha-dukkha).
2. Semua perasaan senang dan bahagia berdasarkan sifat tidak kekal, yang di dalamnya terkandung benih-benih dukkha (viparinama dukkha).
3. Sifat tertekan dari semua sankhara (bentuk/keadaan yang bersyarat) yang selalu muncul dan lenyap, seperti paticakkhandha (lima kelompok kehidupan) atau nama-rupa (Sankharadukkha).

B. KESUNYATAAN SUCI TENTANG ASAL MULA DUKKHA (Dukkhasamudaya Ariyasacca)
Asal-mula dukkha ialah "keinginan rendah" (Tanha), yang menyebabkan kelahiran berulang-ulang bersama dengan hawa napsu yang mencari kenikmatan ke sana ke mari (ponobhavika nandiragasahagata tatratatrabhinandini), yang terdiri atas :
1. Keinginan akan napsu indera (kama-tanha)
2. Keinginan akan penjelmaan (bhava-tanha)
3. Keinginan akan pemusnahan (vibhava-tanha)
Setiap orang mengakui bahwa semua kejahatan dalam dunia ini disebabkan oleh keinginan yang egoistis. Hal ini tidak sulit untuk dimengerti. Tetapi bagaimana tanha ini dapat mengakibatkan "kelahiran berulang-ulang" (ponobhavika) bukanlah dengan mudah dapat dimengerti. Maka di sini kita akan membicarakan sudut falsafah yang lebih dalam dari kesunyataan Suci kedua yang berhubungan dengan Kesunyataan Suci pertama.
Terdapat empat macam "makanan" (ahara) dalam pengertian sebab atau kondisi yang diperlukan untuk kelangsungan makhluk-makhluk:
1. Makanan material (kabalikarahara)
2. Kontak dari enam indera kita dalam menyentuh obyek (phassahara)
3. Kesadaran yang menimbulkan nama dan rupa (vinnanahara)
4. Kehendak bathin yang menimbulkan perkataan dan perbuatan (manosancetanahara)
Ahara 4 macam ini merupakan kehendak untuk hidup, untuk lahir, untuk lahir kembali, untuk berlangsung, untuk menjadi lebih sempurna. Ia menciptakan akar dari kelahiran dan kelangsungan yang bergerak maju dengan perbuatan-perbuatan yang baik dan buruk (kusala - akusala kamma).

C. KESUNYATAAN SUCI TENTANG LENYAPNYA DUKKHA (Dukkhanirodha Ariyasacca)
Lenyapnya dukkha, berakhir sama sekali, dilepaskannya, ditinggalkannya, terbebas dari, tidak terdapatnya keinginan rendah (tanha) ini; atau dengan kata lain: tercapainya Nibbana.

D. KESUNYATAAN SUCI TENTANG JALAN MENUJU LENYAPNYA DUKKHA (Dukkhanirodha-gamini-patipada Ariyasacca)
Jalan untuk menuju lenyapnya dukkha ialah "Jalan Mulia Berunsur Delapan" (Ariya Atthangika Magga). Jalan Mulia Berunsur Delapan ini dikenal juga sebagai "Jalan Tengah" (Majjahima Patipada), oleh karena "Jalan" ini menghindari dan berbeda di luar cara hidup yang ekstrim, yaitu : pemuasan napsu indera yang berlebih-lebih dan penyiksaan diri; dan sekaligus mengajarkan suatu cara berpikir di tengah-tengah yang menghindari kedua kutub pandang, yaitu pandangan tentang "kekekalan" (sassataditthi) dan "kemusnahan" (ucchedda-ditthi).
Dengan ajaran ini kita dapat membedakan antara unsure-unsur berikut : suci dan tidak suci" (ariya dan anariya), baik dan buruk (kusala dan akusala), berguna dan tidak berguna (attha dan anattha), benar dan salah (dhamma dan adhamma), tercela dan tidak tercela (savajja dan anavajja), jalan hidup yang terang dan jalan hidup yang gelap (tapaniya dan anatapaniya) dan sebagainya.
Perlu ditekankan bahwa Jalan Mulia Berunsur Delapan ini bukanlah terdiri atas delapan buah jalan, yang harus diikuti satu demi satu atau dilaksanakan secara terpisah. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini sebenarnya adalah "satu jalan" yang mempunyai delapan faktor di dalamnya. Karenanya, sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.

Jalan Mulia Berunsur Delapan tersebut terdiri atas :

1. Samma-ditthi (Pandangan Benar)
Terdapat tiga macam pandangan yang benar yaitu :
1. Pandangan yang benar terhadap Karma.
Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Semua makhluk adalah merupakan karmanya sendiri.
2. Semua makhluk adalah merupakan ahli waris dari karmanya sendiri.
3. Semua makhluk adalah lahir dari karmanya sendiri.
4. Semua makhluk adalah keluarga dari karmanya sendiri.
5. Semua makhluk adalah di topang oleh karmanya sendiri.
6. Karma apa saja yang dibuatnya, yang baik atau buruk, terhadap itu ia akan menjadi ahli warisnya.
2. Pandangan yang benar mengenai sepuluh persoalan.
Hal ini dapat diperinci sebagai berikut :
1. Adanya kebajikan yang tinggi dalam berdana.
2. Adanya kebajikan dalam pemberian yang banyak.
3. Adanya kebajikan dalam pemberian yang sedikit.
4. Adanya akibat dari perbuatan yang buruk maupun yang baik.
5. Adanya kebajikan dalam perbuatan yang dilakukan terhadap ibu.
6. Adanya kebajikan dalam perbuatan yang dilakukan terhadap ayah.
7. Adanya makhluk-makhluk yang lahir secara spontan.
8. Adanya dunia ini.
9. Adanya makhluk-makhluk yang lahir secara spontan.
10. Adanya dunia atau alam-alam kehidupan yang lain.
11. Adanya para Buddha dan Arahat yang melakukan latihan yang benar, yang memiliki pencapaian yang benar, yang mendapatkan kesunyataan melalui usahanya sendiri, di dunia ini maupun di alam-alam kehidupan yang lainnya, dan mengajarkan kesunyataan itu kepada makhluk-makhluk lainnya.
3. Pandangan yang benar mengenai Empat Kesunyataan Suci, yaitu :
1. Tentang adanya Dukkha.
2. Tentang Asal Mulanya Dukkha.
3. Tentang lenyapnya Dukkha.
4. Tentang Jalan yang menuju lenyapnya Dukkha.

2. Samma-Sankapa (Pikiran Benar)
Pikiran yang benar adalah pikiran yang menghindari kejahatan dan pikiran yang cenderung kepada kebajikan, yaitu :
1. Pikiran yang bebas dari Akusalamula 3 (3 akar kejahatan) yaitu lobha (ketamakan), doa (kebencian), moha (kebodohan bathin).
2. Pikiran yang berisi metta (cinta kasih).
3. Pikiran yang berisi karuna (belas kasihan).

3. Samma-vaca (Ucapan Benar).
Ucapan yang benar dapat diperinci sebagai berikut :
1. Ucapan yang terbebas dari kebohongan (kepalsuan).
2. Ucapan yang terbebas dari memfitnah (adu domba).
3. Ucapan yang terbebas dari kekerasan (kekejaman).
4. Ucapan yang terbebas dari kerewelan (cerewet/bawel).

4. Samma-kammanta (Perbuatan Benar).
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang tidak merugikan makhluk lain dan hal ini dapat diperinci sebagai berikut :
1. Perbuatan yang menghindari pembunuhan atau penyiksaan makhluk lain.
2. Perbuatan yang menghindari pencurian atau mengambil barang yang bukan miliknya.
3. Perbuatan yang menghindari perzinaan.

5. Samma-ajiva (Pencaharian Benar)
Pencaharian yang benar adalah pencaharian yang tidak merugikan makhluk lain dan juga tidak merugikan diri sendiri. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut :
1. Pencaharian yang tidak mengakibatkan pembunuhan.
2. Pencaharian yang wajar atau halal.
3. Pencaharian yang tidak berdasarkan penipuan.
4. Pencaharian yang tidak berdasarkan ilmu yang rendah (black-magic).

6. Samma-vayama (Usaha Benar).
Usaha yang benar adalah usaha untuk membersihkan diri dan mengembangkan kebaikan. Hal ini dapat diperinci sebagai berikut :
1. Usaha untuk menghindari kejahatan yang belum ada dalam diri.
2. Usaha untuk menghilangkan kejahatan yang sudah ada dalam diri.
3. Usaha untuk menumbuhkan kebaikan yang belum ada dalam diri.
4. Usaha untuk mengembangkan kebaikan yang sudah ada dalam diri.

7. Samma-sati (Perhatian Benar).
Perhatian yang benar adalah perhatian yang ditujukan kedalam diri sendiri, untuk melihat proses kehidupan ini, yang selalu dalam keadaan berubah, yakni :
1. Perhatian terhadap jasmani (Kayanupassana).
2. Perhatian terhadap perasaan (Yedananupassana).
3. Perhatian terhadap pikiran (Cittanupassana).
4. Perhatian terhadap bentuk-bentuk pikiran (dhammanupassana).

8. Samma-samadhi (Meditasi Benar).
Meditasi yang benar adalah meditasi untuk membersihkan bathin, guna menuju kesejahteraan hidup atau kesucian atau kebebasan dari penderitaan. Meditasi yang benar ada 2 (dua) macam, yaitu :
1. Samatha- Bhavana, adalah meditasi untuk mengembangkan ketenangan bathin guna    mencapai jhana-jhana dan kekuatan bathin (abhinna).
2. Vipassana-Bhavana, adalah meditasi untuk mengembangkan pandangan terang guna        mencapai kebijaksamian dan kesucian serta terbebas dari dukkha (nibbana).

Keterangan mengenai delapan faktor ini :
  1. Pandangan Benar dan Pikiran Benar adalah kelompok  Panna.
  2. Pembicaraan Benar, Perbuatan Benar dan Pencaharian Benar adalah kelompok 
  3. Usaha Benar, Perhatian Benar dan Meditasi Benar adalah kelompok Samadhi

Thursday, March 13, 2014

Arahanta Bhante Sivali MahaThera

Di zaman Buddha Padumuttara, Sivali dilahirkan sebagai orang biasa. Suatu hari ketika ia sedang mendengarkan Dharma, ia melihat Sang Buddha menunjuk seorang bhikkhu diantara bhikkhu-bhikkhu lain yang terkemuka, yang banyak memperoleh keuntungan/kebutuhan.

Setelah melihat kejadian ini, Sivali ingin mencapai prestasi yang sama dengan bhikkhu itu. Untuk itu ia mulai mempersembahkan dana kepada dan para siswanya, kemudian beraditthana (bertekad) untuk mencapai prestasi itu.

Setelah ia melihat keberhasilan dalam keinginannya itu, ia menyatakan bahwa dalam kehidupan yang akan datang akan menjadi seorang bhikkhu yang memperoleh banyak kebutuhan. Ia banyak melakukan perbuatan berjasa selama hidupnya dan setelah meninggal dilahirkan kembali ke alam dewa.

Setelah mengalami beberapa kali kelahiran, suatu saat ia dilahirkan pada zaman Buddha Vipasi, sebagai seorang umat awam di kota Bandhumati. Pada waktu itu seluruh warga kota tersebut biasanya mempersembahkan maha dana kepada Sang Buddha dan muridnya. Ketika mereka sedang mempersiapkan dana, mereka kekurangan susudan madu, sehingga seseorang diutus untuk mencari susu dan madu.

SUSU DAN MADU
Sementara itu seorang pedagang keliling sedang mengunjungi kota yang sama untuk menjual susu dan madu dan bertemu dengan seseorang yang sedang mencari susu dan madu. Pencari itu menawar berangsur-angsur harga madu dan susu itu dari satu sampai seribu rupee. Padang itu bertanya mengapa ia berani membayar mahal untuk susu dan madu itu. Orang tadi menjawab, bahwa mereka sedang kekurangan madu dan susu untuk mempersiapkan Maha Dana kepada Sang Buddha.

Pedagang itu kemudian menanyakan, apakah ia boleh ikut serta dalam berbuat jasa ini. Dan dikatakan ia diperbolehkan ikut ambil bagian dalam mempersembahkan Maha Dana. Setelah mendengar jawaban tersebut, pedagang itu menolak menerima uang dan langsung pergi mempersembahkan susu dan madu sendiri. Ia membuat addhitthana kembali untuk kelak menjadi seorang bhikkhu yang dapat menerima segala kebutuhan. Setelah Sang Buddha melihat kehidupan  selanjutnya, Beliau memberkahinya dengan mengatakan, ”Semoga keinginanmu terpenuhi”. 
 
Ia dilahirkan kembali pada zaman Buddha Gotama di suku Koliya. Setelah pembuahan dalam rahim Ratu Suppavasa, ratu menjadi sangat senang, dan beruntung menerima bermacam-macam hadiah dari keluarga dan kawan-kawannya. Disamping itu seluruh kerajaan menjadi makmur dan memperoleh panen yang banyak. Walaupun waktu untuk melahirkan telah tiba, Suppavasa masih juga belum melahirkan. Masa hamilnya demikian lama, tidak seperti biasanya.

Putri Suppavasa dari Kundakoliya sedang hamil selama tujuh tahun dan kemudian selama tujuh hari Ia mengalami kesakitan pada saat melahirkan Anak-Nya. Ia terus merenungkan Sifat-Sifat Khusus Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Ia menyuruh Suami-Nya pergi menemui Sang Buddha untuk memberikan Penghormatan dengan membungkukkan badan demi kepentingan-Nya dan untuk memberitahu Beliau tentang keadaan-Nya dengan berkata: "Sebelum Saya meninggal, Saya akan memohon sesuatu. Suami-Ku pergi dan ceritakanlah keadaan-Ku kepada Sang Guru dan undanglah dan apa yang di Katakan-Nya ingat baik-baik dan katakanlah kepada-Ku apa yang dipesankan Sang Guru".

Ketika diberitahu mengenai keadaan Putri tersebut, Sang Buddha berkata, "Semoga Suppavasa bebas dari bahaya dan penderitaan, semoga Ia melahirkan Anak yang sehat dan mulia dengan selamat".

Ketika Kata-Kata ini sedang diucapkan, Suppavasa melahirkan Anak di rumah-Nya. Pada hari itu juga, segera setelah Kelahiran Anak tersebut, Sang Buddha beserta beberapa Bhikku diundang untuk datang ke rumah-Nya. Dana makanan diberikan disana dan bayi yang baru saja lahir memberikan air yang sudah disaring kepada Sang Buddha dan Para Bhikku. Pada upacara Pemberian Nama, Putra tersebut diberi Nama Sivali, yang berarti 'Yang Menguntungkan'.

Untuk merayakan Kelahiran Bayi tersebut, Orang tua-Nya mengundang Sang Buddha dan Para Bhikku ke rumah Mereka untuk memberikan dana makanan selama tujuh hari.

Setelah 7 hari sejak Kelahiran-Nya, Ia dapat melakukan apa saja. Yang Arya Sariputra, Sang Dharmasenapati (Jenderal Dharma), berbicara kepada-Nya pada hari itu dengan berkata, "Tidakkah itu menunjukkan Sikap Seseorang yang telah mengatasi penderitaan seperti telah Engkau lakukan untuk meninggalkan duniawi?"

"Bhante, Saya akan meninggalkan duniawi". Gumam Sivali. Putri Suppavasa melihat Mereka berbicara dan menanyakan kepada Sariputra Thera, apa yang telah Mereka bicarakan. "Kami berbicara tentang penderitaan panjang yang telah diatasi oleh Sivali. Dengan izin-Mu, Saya akan menahbiskan-Nya", jawab Sariputra Thera. Putri Suppavasa berkata, "Itu baik, Yang Arya, tahbiskanlah Anak-Ku Sivali". Dan pada saat ditahbiskan, Yang Arya Sariputra Thera berkata, "Sivali, Engkau tidak menginginkan Nasehat lainnya selain sebab dari dukkha yang panjang yang telah Engkau atasi ? Pikirkanlah itu." "Bhante, Kata-Kata Bhante merupakan beban bagi penahbisan-Ku tetapi Saya akan menemukan apa yang pandai Saya lakukan", kata Sivali.

Ketika Anak-Nya tumbuh dewasa, Ia diterima dalam Pasamuan dan sebagai Bhikku, Ia dikenal dengan Nama Arya Sivali Thera.
Pada saat pertama Rambut-Nya dipotong, Dia mendapat hasil pada Jalan Pertama (Sotapatti-phala), saat yang kedua dipotong, Ia mencapai Jalan Kedua (Sakadagami-phala).
Ia mencapai tingkat Kesucian Arahat segera setelah Kepala-Nya dicukur. Kemudian, Ia menjadi terkenal sebagai Seorang Bhikku yang dengan mudah selalu menerima pemberian berjumlah besar, kendatipun Ia melakukan Pindapatta di desa yang sangat miskin sekalipun. Sebagai Bhikku penerima dana, Ia tidak terbandingkan sehingga Ia terkenal sebagai Bhikku Murah Rezeki.

Setelah Sariputra Thera menahbiskan-Nya, Bhikku Sivali pergi pada hari yang sama dan membuat tempat kediaman-Nya di gubuk serta bermeditasi pada keterlambatan Kelahiran-Nya yang sengsara. Dengan cara ini, Pengetahuan-Nya mencapai kedewasaan. Beliau masuk kedalam Pandangan Benar menghilangkan semua racun dalam pikiran, Beliau telah mencapai Arahat. Setelah mengalami kebahagiaan kebebasan, Beliau dalam Kebahagiaan mengucapkan Syair berikut:"Sekarang telah berhasil baik, semua Tujuan Tertinggi-Ku dalam mengasingkan Diri. Adat pengetahuan yang suci dan pembebasan, permintaan-Ku, semua kesombongan tersembunyi telah Kusingkirkan".

Pada suatu kesempatan, Para Bhikku bertanya kepada Sang Buddha, mengapa Sivali, dengan memiliki bekal menjadi Seorang Arahat, dilahirkan di dalam rahim Ibu-Nya selama tujuh tahun.

Kepada Mereka Sang Buddha menjawab, "Para Bhikku ! Dalam salah satu Kelahiran-Nya yang terdahulu, Sivali adalah Anak dari Raja yang kehilangan Kerajaan-Nya karena direbut oleh Raja lain. Dalam usaha-Nya untuk memperoleh kembali Kerajaan Mereka, Ia (Sivali) telah mengepung Kota Kerajaan atas nasehat Ibu-Nya. Sebagai akibat-Nya, orang-orang didalam kota itu kehabisan makanan dan air selama tujuh hari. Karena perbuatan jahat itulah, maka Sivali terkurung dalam rahim Ibu-Nya selama tujuh tahun. Tetapi sekarang, Sivali telah sampai pada akhir semua dukkha, Ia telah merealisasikan Nirvana".

Kemudian Sang Buddha membabarkan Syair 414 berikut:

"Yo' mam palipatham duggam samsaram mohamaccaga tinno parangato jhayi anejo akathamkathi anupadaya Nibbuto tamaham brumi Brahmanam."
Orang yang telah menyeberangi lautan kehidupan (samsara) yang kotor, berbahaya dan bersifat maya, yang telah menyeberang dan mencapai 'pantai seberang' (Nirwana), yang selalu bersamadhi, tenang, dan bebas dari keragu-raguan, yang tidak terikat pada sesuatu apapun dan telah mencapai Nirwana, maka Ia Kusebut Seorang 'Brahmana'.

Namo Arahato Sivali Vandana Gatha

Sivali ca mahathero devata nara pujito soraho paccaya dimhi
Sivali ca mahathero yakkha devabhi pujito soraho paccaya dimhi ahang vandami sabbada
Sivali terasa etang gunang savasti labhang bhavantu me

Sumber : Dhammapada dan Berbagai Sumber