Selamat datang di Golden World Blog. Semoga semua mahkluk hidup berbahagia. Sadhu Sadhu Sadhu.

Thursday, February 27, 2014

Luang Phor Thuad 

Luang Phor Thuad lahir pada tahun 1582 di Desa Suan Can, daerah Chumphol, Sathing Phra di Songkla bagian selatan Thailand. Dengan Orang tua bernama Khun Hu dan Mae Chan yang merupakan pasangan suami-isteri dengan hidup sangat sederhana (miskin) serta tinggal di daerah kekuasaan Raja Shrentthi Pan yang kaya raya. Kedua orang tua memberi nama "Pu" (yang berarti kepiting) pada Luang Phor Thuad yang masih kecil.

Saat usia Pu (Luang Phur Thuad) kurang dari 6 bulan, Dia ditaruh di atas handuk di bawah bayangan pohon dekat sawah ketika ibunya bekerja. Pada siang hari ibunya beristirahat dari kerja-nya dengan tujuan untuk menyusui si anak. ketika ibunya berjalan ke arah bayi itu, si Ibu melihat seekor ular phyton yang sangat besar melingkari tubuh sang bayi, dengan seketika ibunya menjerit untuk minta tolong. Para penduduk pun banyak yang mengambil pisau, kapak dan alat pemukul. Ular phyton itu lalu melotot dan tidak bergerak.

Orang-orang disekitarnya terpaku diam dan tidak tahu untuk berbuat apa. Tidak seorangpun yang berani untuk memulai menyerang, dan tiba-tiba ibunya mendapatkan ide, ibunya teringat akan cerita dongeng bahwa ular ini mungkin penglihatan kiriman dari dewa. Dengan cepat si ibu memetik 7 bunga liar dengan warna yang berbeda dan menggunakan daun sebagai alas bunga-bunga itu, berlutut dan menutup mata serta dengan konsentrasi berdoa. Lalu ular itu memuntahkan sebuah batu crystal di dada si bayi dan dengan segera pergi. Batu crystal ini sangat mengkilau dan para penduduk pun berkumpul untuk melihat batu ini. lalu si ibu menyimpan batu itu dan membawanya pulang.

Seorang kaya menawar crystal itu dengan harga tinggi, tetapi ibu-nya tidak berniat untuk menjualnya, Si kaya memaksa si ibu lalu akhirnya si ibu hanya menghadiahkan batu itu kepada-nya. Orang kaya itu sangat senang, tetapi hanya dalam waktu yang singkat. Dalam kurun waktu 3 hari, semua anggota keluarganya jatuh sakit. Dengan mencari jawaban dari medium bahwasannya dia menyimpan sesuatu yang bukan dimilikinya dengan benar. hanya sang bayi yang berhak memiliki-nya.

Karena ketakutan orang kaya itu mengembalikan batu crystal itu kepada ibu si bayi. dalam waktu 3 bulan, uang dan kekayaan mengalir seperti alir mengalir saja. Kedua orang tua Luang Phor Thuad menjadi kaya raya sehingga para tetangganya merasa iri. Mereka mencuri Crystal itu tapi tiba2 seekor ular Phyton mengejar mereka sampai akhirnya Crystal itu dilempar ke sebuah lubang. Kemudian melalui mimpi, seorang dewa memberi tahu dimana Crystal itu berada kepada kedua orang tua-nya. Setelah Crystal itu ditemukan..kedua orang tuanya mengabdikan diri kepada Sang Buddha, mereka dengan baik hati menolong orang-orang miskin, memberi persembahan kepada anggota Sangha dan membangun tempat-tempat ibadah.

Luang Phor Thuad mulai belajar ajaran Buddhist di Vihara mulai umur 5 tahun. Karena begitu berbakat, dia menguasai semua pelajaran yang dikuasai gurunya hanya dalam waktu 1 tahun. Dia pergi ke vihara lain di seberang lembah melewati hutan rimba untuk mendapatkan ajaran2 yang lebih lanjut setiap hari. Dia menjadi bikhu pada umur 12 tahun dan mengabdikan diri pada Dharma sepenuhnya. Ayahnya meninggal pada usia 72 tahun yaitu ketika Luang Phor Thuad menginjak usia 30. Untuk mempelajari ajaran Buddha lebih mendalamnya lagi, dia meninggalkan ibunya dan pegi ke provinsi lain.

Dari lokasi sekarang ini Wat pakok, Singora, Thailand..Luang Phor Thuad menaiki kapal ke utara ke provinsi Ayuthaya (dulunya ibukota dari Thailand). Setelah menaiki kapal selama setengah hari, kapal itu bertemu badai yang sangat ganas. Kapal itu berguncang dan para penumpang sangat ketakutan. karena badai itu, kapal itu tidak sampai ke tujuan karena terapung-apung selama beberapa hari. Persediaan air pun semakin menipis. Karena itu pemilik kapal berpikir bahwa perjalanan sebelumnya selalu saja mulus, dan mengambil kesimpulan bahwa bencana ini pasti disebabkan karena bikhu ini. Mereka merencanakan untuk mendorong-nya ke laut. Luang Phor Thuad dapat merasakan apa maksud dari para pemilik kapal ini lalu menghibur mereka agar jangan khawatir karena air minum sangat banyak di sekitar mereka. Dia mengeluarkan kaki-nya keluar kapal dan badainya langsung reda. dengan kaki-nya dia menggambar lingkaran di atas permukaan air laut dan menyuruh pemilik kapal untuk mengambil air dari dalam lingkaran itu untuk air minum.

Para pemilik kapal pertama kali marah karena mereka tidak percaya bahwa air laut bisa diminum. Setelah ada kata jaminan Luang Phor Thuad, lalu mereka mencoba untuk meminumnya dan memang benar bisa diminum. tapi satu orang dengan sengaja meminum air di luar lingkaran dan memang terasa asin. Pemiik kapal itu terkagum-kagum dan akhirnya mereka tidak berani mencelakai Luang Phor Thuad.

Hari berikutnya, kapal itu sampai di provinsi Ayuthaya. Luang Phor Thuad berjalan beberapa mil dan bergembira karena didapatinya sebuah Vihara ada di depan nya. Bikhu dari Vihara ini menolak kedatangan Luang Phor Thuad karena melihat Luang Phor Thuad mengenakan jubah yang jelek (miskin). Lalu dia akhirnya mengarahkan langkahnya ke Vihara tua yang tidak begitu jauh dari situ. Penjaga tua dari Vihara ini menyambut-nya dan memberi tempat berteduh baginya. Dia tinggal disana untuk mempelajari kitab suci, untuk memberi penghormatan pada Buddha dan belajar meditasi selama setengah tahun.

Pemerintah dari negara tetangga, Raja Sri Lanka mengirimkan 7 bikhu ke Procinsi Ayuthaya untuk menguji pencapaian dari bikhu-bikhu di Thailand. Para Bikhu Sri Lanka ini membawa 12 mangkuk yang di dalamnya terdapat 84.000 kata-kata. Kata-kata ini untuk disusun menjadi suatu Sutra dalam kurun waktu 1 minggu. Jika ini bisa berhasil, raja Sri Lanka akan menyiapkan hadiah kepada Thailand berupa 7 Kapal yang terbuat dari emas. Tetapi bila gagal, Thailand harus menyerahkan kedaulatan negara mereka kepada Sri Lanka. Raja Thai mengumpulkan semua bikhu-bikhu yang terkenal untuk menyelesaikan masalah ini. banyak yang mencoba tapi semuanya gagal .

Sehingga pengumuman pun dibuat oleh kerajaan untuk mencari seseorang yang bisa menyelesaikan tugas ini. Pada hari ke-empat, Sang Raja bermimpi Seekor gajah putih sedang mengeluarkan suara (seperti terompet) disertai sinar yang menyilaukan. Raja mencari peramal dan si peramal mengatakan bahwa ini pertanda baik dimana seorang bijaksana akan muncul untuk menyelesaikan masalah ini.

Luang Phor Thuad tiba di rumah seorang kaya, orang-orang di situ lagi membicarakan topik yang sangat serius. Lalu mereka melihat Luang Phor Thuad memegang mangkuk berdiri di depan pintu. Pemilik rumah dengan penuh hormat mempersembahkan makanan kepada Luang Phor Thuad. Pemilik rumah merasakan bahwa bikhu di depan ini memiliki penampilan yang luar biasa. Pemilik rumah menghaturkan hormat dan memberitahukan bahwa nantinya reputasi negara ini dalam ajaran Buddhist akan dipermalukan bila tidak ada yang dapat menjawab tantangan dari negara tetangga, serta pemilik rumah menanyakan bila Luang Phor Thuad bisa membantu. Luang Phor Thuad membalas bahwa dia akan membantu. Pemilik rumah sangat gembira dan bermaksud untuk segera mengundang Luang Phor Thuad untuk menemui Raja. Luang Phor Thuad mengatakan untuk jangan terburu-buru dan akan datang besok pagi.

Setelah Luang Phor Thuad pergi, pemilik rumah mengabari sang Raja. Pagi berikutnya, Raja mengirimkan kereta kuda khusus untuk menyambut Luang Phor Thuad ke kerajaan. Pada saat tiba, dia dikawal para pejabat ke pintu masuk kerajaan. Langkahnya yang keras seiring Luang Phor Thuad berjalan dengan kaki telanjang. Raja dan para pejabat semuanya diam. Sekitar setengah jam kemudian, Bikhu dari negara tetangga datang. Setelah saling menghaturkan salam, Luang Phor Thuad mulai menyusun kata-kata itu. 12 mangkuk disebarkan di meja. Dia menutup matanya dan menyusunnya dengan kedua tangannya. setelah 15 menit kemudian, dia mengatakan bahwa ada 5 kata yang hilang.

Ketujuh Bikhu Sri Lanka itu diam saja, kemudia Luang Phor Thuad memperingatkan mereka jika tidak ada yang mau mengeluarkan kata-kata yang hilang tersebut, maka mereka akan mati dengan tengkorak kepala yang pecah. Orang yang melakukan kejahatan itu kemudian merasa takut dan mengeluarkan kata-kata yang hilang itu. Dengan mata tertutup, Luang Phor Thuad menggunakan kekuatan gaib untuk menyusun kata-kata itu, dan akhirnya jadilah sebuah Sutra yang lengkap. Melihat Thailand tak terkalahkan, ketujuh Bikhu tadi mempersembahkan 7 kapal yang terbuat dari emas dan mereka dengan segera meninggalkan Thailand. Sejak saat itu nama Luang Phor Thuad jadi terkenal di seluruh negara Thailand, dia dipandang sebagai Bikhu Buddhist yang suci dalam sejarah Thai.

Luang Phor Thuad berdiam di Ibukota untuk beberapa tahun sampai pada saat dia mendapat berita bahwa ibu-nya mengidap penyakit yang serius. Luang Phor Thuad bergegas kembali ke selatan tidak lama setelah ibunya meninggal pada umur 78. Setelah pemakaman ibunya, dia tinggal di Singora, Thailand.

Gubernur dari daerah selatan yang bermarga Phang dengan perawakan muka yang agak hitam mempunyai keinginan untuk membangun Vihara Buddhist. Dia datang ke Singora untuk mencari seorang bikhu yang termasyur untuk sebagai pemimpin. Pada malam setelah matahari terbenam, dia melihat seorang bikhu tua berjalan di sepanjang pantai, meninggalkan jejak surya. Dia mengetahui bahwa inilah bikhu yang tepat untuk didekati. Dia maju untuk menyambut bikhu tua itu dengan hormat dan menceritakan keinginannya untuk membangun Vihara di Pattani. Sebenarnya Luang Phor Thuad sudah tahu keinginan orang ini melalui kekuatan batin-nya. Luang Phor Thuad menyetujuinya dan ikut dengan si gubernur Phang ke Pattani. Saat pembangunan Vihara itu telah selesai, maka diberi nama Wat ChangHai. Luang Phor Thuad menjadi kepala di Vihara ini sampai dia meninggal pada umur 120 tahun.

 

Sumber : Berbagai Sumber.

Wednesday, February 26, 2014

Maha Kassapa

Dalam perjalanan ke Rajagaha, Sang Buddha tiba di suatu tempat perbatasan antara kota Rajagaha dan Nalanda dan beristirahat di bawah pohon beringin Bahuputtaka.

Pada waktu itu, seorang pertapa bernama Pipphali lewat di tempat itu. Pipphali adalah anak seorang Brahmana dari keluarga Kassapa yang bernama Kapila dengan istrinya yang bernama Sumanadevi dari desa Mahatittha di negara Magadha.

Ia menghampiri Sang Buddha dan setelah mengetahui bahwa yang diajak bicara adalah seorang Buddha, Pipphali mohon diterima menjadi murid.

Sang Buddha mentahbiskannya dengan cara memberikan tiga buah nasehat, “Oh, Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada para bhikkhu yang tua, yang muda, dan yang setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarakan Dhamma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus-menerus mengambil tubuhmu sebagai objek meditasi.”

Setelah ditahbiskan, Kassapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Kemudian Sang Buddha bangkit dan meneruskan perjalanan-Nya menuju Rajagaha.

Bangga karena merasa mendapat kehormatan besar dapat memakai jubah bekas Sang Buddha, Kassapa kemudian dengan tekun melaksanakan latihan Dhutanga. Pada hari ke delapan, ia mencapai tingkat kesucian Arahat.

Maha Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama menjadi bhikkhu sampai berusia lanjut, Maha Kassapa selalu tinggal di hutan. Tiap hari mengumpulkan makanan, selalu memakai baju bekas (pembungkus mayat), sudah puas dengan pemberian yang sedikit (kecil), selalu hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal rajin sekali.

Menjawab pertanyaan, mengapa Beliau menuntut kehidupan yang demikian keras, Maha Kassapa mengatakan bahwa Beliau berbuat semuanya itu bukan hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi juga demi kebahagiaan orang lain di kemudian hari. Maha Kassapa dipandang sebagai contoh yang baik sekali untuk orang-orang yang benar-benar ingin melaksanakan hidup suci. Sebagai penghormatan, Beliau diberi nama Maha Kassapa (Kassapa Agung).

Tiga bulan setelah Sang Buddha meninggal dunia, Maha Kassapa mengetuai Sidang Agung (Sangha-Samaya) yang pertama dengan dihadiri oleh 500 orang Arahat di Goa Sattapanni, kota Rajagaha untuk menghimpun semua tata tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni dan semua khotbah Sang Buddha yang pernah diberikan di tempat-tempat yang berlainan, kepada orang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula selama 45 tahun.

Maha Kassapa meninggal dunia pada usia 120 tahun.
Kisah Kassapa Bersaudara

Di tiga tempat sepanjang Sungai Neranjara, tinggal tiga orang Kassapa bersaudara yang menjadi pemimpin kaum Jatila yang memuja api. Yang tertua disebut Uruvela Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hulu sungai dan mempunyai pengikut sebanyak lima ratus orang. Yang kedua disebut Nadi Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hilir sungai dan mempunyai pengikut sebanyak tiga ratus orang. Yang ketiga disebut Gaya Kassapa, bertempat tinggal di tempat lebih hilir dari Nadi Kassapa dan mempunyai pengikut sebanyak dua ratus orang.
Pada suatu hari, Sang Buddha tiba di Uruvela dan mengunjungi Uruvela Kassapa. Di tempat ini Sang Buddha harus memperlihatkan kekuatan gaib untuk menundukkan Uruvela Kassapa yang ternyata juga mahir dalam melakukan ilmu-ilmu gaib. Salah satu contoh dapat diceritakan sebagai berikut :

“Kalau Anda tidak keberatan, Kassapa, Aku ingin bermalam di pondokmu.”

“Tentu saja tidak, Gotama Yang Mulia, aku tidak keberatan Anda bermalam di pondokku. Tetapi Anda harus tahu bahwa seekor ular kobra yang besar dan ganas sekali menjaga api suci yang terdapat di pondokku. Tiap malam ular itu keluar dan aku khawatir Anda akan celaka.” jawab Uruvela Kassapa.

“Oh, tidak apa-apa. Kalau Anda tidak keberatan, Aku akan bermalam di pondokmu.”
“Kalau begitu baiklah. Selamat malam dan semoga Anda selamat.”

Sang Buddha juga mengucapkan selamat malam kepada Uruvela Kassapa dan masuk ke dalam pondok. Sang Buddha duduk bermeditasi dan menunggu munculnya ular kobra tersebut.

Waktu tengah malam, benar saja seekor ular kobra besar datang menghampiri Sang Buddha. Ular itu menyemburkan uap beracun dan mencoba menggigit Sang Buddha. Tetapi semburan uap beracun maupun usaha untuk menggigit Sang Buddha ternyata sia-sia saja. Sang Buddha tetap duduk bermeditasi dengan mengembangkan gaya-gaya Metta (cinta kasih) dan badan-Nya seolah-olah dikelilingi oleh semacam perisai yang tidak dapat ditembus.

Esok paginya, Uruvela Kassapa datang menjenguk Sang Buddha dan mengira akan menemukan mayat-Nya. Ia terkejut melihat Sang Buddha sedang duduk bermeditasi.

Uruvela Kassapa bertanya apakah Sang Buddha tidak diganggu oleh ular kobra. “Tidak, ular itu ada di sini.” jawab Sang Buddha dan membuka tutup mangkuk yang biasa dipakai untuk menerima dana makanan.
Keluarlah seekor ular kobra yang mendesis dengan ganas sehingga Uruvela Kassapa cepat-cepat ingin menyingkir. Tetapi Sang Buddha menahannya dan berkata bahwa Beliau mempunyai kemampuan untuk menjinakkan ular kobra.

Pada kesempatan lain sewaktu turun hujan lebat dan semua tempat di daerah itu digenangi air banjir, kembali Sang Buddha memperlihatkan kekuatan gaib-Nya. Di tempat Sang Buddha berdiri atau berjalan, air “membelah” membuka jalan, sehingga kaki dan tubuh Sang Buddha tidak basah kena air.

Akhirnya Uruvela Kassapa dapat diyakinkan bahwa ia bukanlah tandingan Sang Buddha dan ia juga tahu bahwa ia belum mencapai tingkat Arahat sebagaimana dikiranya semula. Ia juga dapat diyakinkan bahwa pemujaan api tidak dapat membawa orang ke Pembebasan Sempurna. Dengan lima ratus orang pengikutnya, ia kemudian membuang semua peralatan yang dipakainya dalam pemujaan api ke dalam sungai dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu.

Pada suatu hari, Nadi Kassapa yang bertempat tinggal di sebelah hilir sungai menjadi terkejut melihat banyak peralatan sembahyang terapung di sungai. Ia mengira bahwa suatu bencana hebat telah menimpa diri kakaknya.

Dengan tergesa-gesa, diikuti tiga ratus orang pengikutnya, Nadi Kassapa pergi ke tempat Uruvela Kassapa.
Setelah tiba, Nadi Kassapa melihat bahwa kakaknya sudah menjadi bhikkhu. Selanjutnya Nadi Kasspa diberi penjelasan tentang sia-sianya memuja api, sehingga akhirnya ia bersama-sama pengikutnya pun menjadi bhikkhu. Hal yang sama juga terjadi pada diri Gaya Kassapa beserta para pengikutnya. Dengan demikian tiga kelompok Jatila yang berjumlah 1.003 orang telah menjadi pengikut Sang Buddha.

Setelah beberapa waktu di Uruvela, Sang Buddha beserta rombongan melanjutkan perjalanan-Nya menuju Gayasisa di tepi Sungai Gaya.

Di tempat itu Sang Buddha mengumpulkan murid-muridNya dan memberikan khotbah yang kemudian dikenal sebagai Adittapariyaya Sutta.

Setelah Sang Buddha selesai memberikan khotbah, batin bhikkhu-bhikkhu tersebut terbebas seluruhnya dari kemelekatan dan bersih dari kekotoran batin. Mereka semua mencapai tingkat yang tertinggi, yaitu menjadi Arahat.




Pembabaran Dhamma
 

 Pada suatu hari, Sang Buddha memanggil berkumpul murid-muridNya yang berjumlah enam puluh orang Arahat dan berkata, “Aku telah terbebas dari semua ikatan-ikatan, oh bhikkhu, baik yang bersifat batiniah maupun yang bersifat badaniah, demikian pula kamu sekalian. Sekarang kamu harus mengembara guna kesejahteraan dan keselamatan orang banyak. Janganlah pergi berduaan ke tempat yang sama. 

Khotbahkanlah Dhamma yang mulia pada awalnya, mulia pada pertengahannya, dan mulia pada akhirnya. Umumkanlah tentang kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya. Terdapat makhluk-makhluk yang matanya hanya ditutupi oleh sedikit debu. Kalau tidak mendengar Dhamma, mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh manfaat yang besar. Mereka adalah orang-orang yang dapat mengerti Dhamma dengan sempurna. Aku sendiri akan pergi ke Senanigama di Uruvela untuk mengajarkan Dhamma.”

Kemudian berangkatlah keenam puluh Arahat itu sendiri-sendiri ke berbagai jurusan dan mengajar Dhamma kepada penduduk yang mereka jumpai. Sewaktu mengajar, mereka kerap kali bertemu dengan orang yang ingin menjadi bhikkhu. Karena mereka sendiri belum bisa mentahbiskannya, maka dengan melakukan perjalanan jauh dan melelahkan mereka membawa orang itu menghadap Sang Buddha. Melihat kesulitan ini maka Sang Buddha memperkenankan para bhikkhu untuk memberikan pentahbisan sendiri.

“Aku pekenankan kamu, oh Bhikkhu, untuk mentahbiskan orang di tempat-tempat yang jauh. Inilah yang harus kamu lakukan. Rambut serta kumisnya harus dicukur, mereka harus memakai jubah Kasaya (jubah yang dicelup dalam air larutan kulit kayu tertentu), bersimpuh, merangkap kedua tangannya dalam sikap menghormat dan kemudian berlutut di depan kaki bhikkhu.

Selanjutnya kamu harus mengucapkan dan mereka harus mengulang ucapanmu,  “Aku berlindung kepada Sang Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Sangha, dan seterusnya.”

Mulai saat itu terdapat dua cara pentahbisan, pertama yang diberikan Sang Buddha sendiri dengan memakai kalimat “ehi bhikkhu” dan yang kedua diberikan oleh murid-muridNya yang dinamakan pentahbisan “Tisaranagamana”.

Dalam perjalanan dari Uruvela ke Benares, pada suatu hari Sang Buddha tiba di perkebunan kapas dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Tidak jauh dari tempat itu, tiga puluh orang pemuda sedang bermain-main yang diberi nama Bhaddavaggiya. Dua puluh sembilan orang sudah menikah, hanya seorang belum. Ia membawa seorang pelacur. Selagi mereka sedang bermain-main dengan asyik, pelacur tersebut menghilang dengan membawa pergi perhiasan yang mereka letakkan di satu tempat tertentu.

Setelah tahu apa yang terjadi, mereka mencari pelacur tersebut. Melihat Sang Buddha duduk di bawah pohon, mereka menanyakan, apakah Sang Buddha melihat seorang wanita lewat di dekat situ. Atas pertanyaan Sang Buddha, mereka menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian Sang Buddha berkata, “Oh, Anak-anak muda, cobalah pikir, yang mana yang lebih penting. Menemukan dirimu sendiri atau menemukan seorang pelacur?” Setelah mereka menjawab bahwa lebih penting menemukan diri mereka sendiri, maka Sang Buddha kemudian berkhotbah tentang Anupubbikatha dan Empat Kesunyataan Mulia. Mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Setelah ditahbiskan, mereka dikirim ke tempat-tempat jauh untuk mengajarkan Dhamma.
Yasa

Waktu itu di Benares bertempat tinggal seorang anak muda bernama Yasa. Yasa adalah anak seorang pedagang kaya raya dan sebagaimana juga halnya dengan Pangeran Siddhattha. Yasa pun memiliki tiga buah istana dan hidup dengan penuh kemewahan dikelilingi oleh gadis-gadis cantik yang menyajikan berbagai macam hiburan. Penghidupan yang penuh kesenangan ini berlangsung untuk beberapa lama sampai pada satu malam di musim hujan Yasa melihat satu pemandangan yang mengubah seluruh jalan hidupnya.

Malam itu ia terbangun pada larut malam dan dari sinar lampu di kamarnya Yasa melihat pelayan-pelayannya sedang tidur dalam berbagai macam sikap yang membuatnya jemu dan muak sekali. Ia merasa seperti berada di tempat pekuburan dengan dikelilingi mayat-mayat yang bergelimpangan. Sebab tidak tahan lagi melihat keadaan itu, maka dengan mengucapkan, “Alangkah manakutkan tempat ini!” Alangkah mengerikan tempat ini!” Yasa memakai sandalnya dan meninggalkan istananya dalam keadaan pikiran kalut dan penuh kecemasan. Ia berjalan menuju ke taman rusa di Isipatana. Waktu itu menjelang pagi hari dan Sang Buddha sedang berjalan-jalan. Sewaktu berpapasan dengan Yasa, Sang Buddha menegur: “Tempat ini tidak menakutkan. Tempat ini tidak mengerikan. Mari duduk di sini. Aku akan mengajarmu.”

Mendengar sapaan Sang Buddha, Yasa berpikir: “Kalau begitu baik juga kalau tempat ini tidak menakutkan dan tidak mengerikan.”

Yasa membuka sandalnya, menghampiri Sang Buddha, memberi hormat dan kemudian duduk di sisi Sang Buddha.

Sang Buddha kemudian memberikan uraian yang disebut, yaitu uraian mengenai pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di sorga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu dan faedahnya melepaskan diri dari semua ikatan duniawi.

Selanjutnya Sang Buddha memberikan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan. Setelah Sang Buddha selesai memberikan uraian, Yasa memperoleh Mata Dhamma sewaktu masih duduk di tempat itu. Yasa kemudian mencapai tingkat Arahat sewaktu Sang Buddha mengulang uraian tersebut di hadapan ayahnya.

Keesokan harinya seluruh penghuni istana Yasa menjadi ribut, karena Yasa tidak ada di kamarnya dan juga tidak diketemukan di bagian lain dari istananya. Ayahnya memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencari ke segenap penjuru dan ia sendiri pergi mencari ke Isipatana. Di taman rusa ia melihat sandal anaknya. Tidak jauh dari tempat itu ia bertemu dengan Sang Buddha dan bertanya apakah Sang Buddha melihat Yasa. Yasa sebenarnya sedang duduk di sisi Sang Buddha, tetapi karena Sang Buddha menggunakan kekuatan gaib maka Yasa tidak melihat ayahnya dan ayahnya tidak melihat Yasa. Sebelum menjawab pertanyaan ayah Yasa, terlebih dahulu Sang Buddha memberikan uraian tentang pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di sorga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu dan faedahnya melepaskan diri dari semua ikatan duniawi. Kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan.

Setelah Sang Buddha selesai memberikan uraian, ayah Yasa memperoleh Mata Dhamma dan mohon untuk diterima sebagai pengikut dengan mengucapkan: “Aku berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai Upasaka mulai hari ini sampai akhir hidupku.” Dengan demikan ayah dari Yasa menjadi upasaka pertama yang berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. (Tapussa dan Bhallika adalah pengikut Sang Buddha yang pertama, tetapi mereka berlindung hanya kepada Buddha dan Dhamma, karena pada waktu itu belum ada Sangha (Pesamuan Para Bhikkhu, yang sekurang-kurangnya terdiri dari lima orang bhikkhu). Yasa yang untuk kedua kalinya mendengarkan uraian Sang Buddha mencapai kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat.

Pada waktu itulah Sang Buddha menarik kembali kekuatan gaibnya, sehingga Yasa dapat melihat ayahnya dan ayahnya dapat melihat Yasa.

Ayah Yasa menegur anaknya dan mendesak agar Yasa pulang kembali ke istananya dengan mengatakan: “Yasa, ibumu sangat sedih. Ayolah pulang demi menyelamatkan nyawa ibumu.”

Yasa menengok ke arah Sang Buddha dan Sang Buddha menjawab: “Kepala keluarga yang baik, beberapa waktu berselang Yasa memperoleh Mata Dhamma sebagaimana juga Anda memperolehnya pada hari ini dan menjadi seorang Ariya yang masih membutuhkan sesuatu yang lebih tinggi untuk mencapai Pembebasan Sempurna. Hari ini Yasa berhasil menyingkirkan semua kekotoran batin dan mencapai Pembebasan Sempurna. Cobalah pikir, apakah mungkin Yasa kembali ke penghidupan biasa dan menikmati kesenangan nafsu-nafsu indriya?”

“Aku rasa memang tidak mungkin. Hal ini sudah menjadi rezekinya. Tetapi, bolehkah saya mengundang Sang Bhagava supaya besok siang berkenan mengambil dana (makanan) di rumahku disertai anakku sebagai bhikkhuni pengiring?”

Sang Buddha menerima undangan ini dengan membisu (berdiam diri). Mengetahui permohonannya diterima, ayah Yasa berdiri, memberi hormat dan berjalan memutar dengan Sang Buddha tetap di sisi kanannya dan kembali pulang ke istananya.

Setelah ayahnya pulang, Yasa mohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi Bhikkhu. Sang Buddha menahbiskannya dengan menggunakan kalimat yang juga digunakan untuk mentahbiskan lima murid-Nya yang pertama, yaitu : “Ehi bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakanlah penghidupan suci.” Perbedaannya, bahwa Sang Buddha tidak mengucapkan”dan singkirkanlah penderitaan”, karena Yasa pada waktu itu sudah mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian, pada waktu itu sudah ada tujuh orang Arahat (Sang Buddha sendiri juga seorang Arahat, tetapi seorang Arahat istimewa, karena mencapai Kebebasan dengan daya upaya sendiri).

Keesokan harinya dengan diiringi Yasa, Sang Buddha pergi ke istana ayah Yasa dan duduk di tempat yang telah disediakan. Ibu dan istri Yasa keluar dan memberi hormat. Sang Buddha kembali memberikan uraian tentang Anupubbikatha dan mereka berdua pun memperoleh Mata Dhamma. Mereka memuji kebagusan uraian tersebut dan mohon dapat diterima sebagai Upasika dengan berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha untuk seumur hidup.

Mereka adalah pengikut-pengikut wanita pertama yang berlindung kepada Tiga Mustika (Buddha, Dhamma dan Sangha).

Setelah itu makan siang disiapkan dan kedua wanita itu melayani sendiri Sang Buddha dan Yasa dengan hidangan yang lezat-lezat. Sehabis makan Sang Buddha dan Yasa kembali ke taman rusa Isipatana.

Di Benares Yasa mempunyai empat orang sahabat, semuanya anak-anak orang kaya, yang bernama Vimala, Subahu, Punnaji, dan Gavampati. Mereka mendengar bahwa Yasa sekarang sudah menjadi bhikkhu. Mereka menganggap bahwa Ajaran yang benar-benar sempurnalah yang dapat menggerakkan hati Yasa untuk meninggalkan penghidupannya yang mewah.

Karena itu mereka menemui bhikkhu Yasa dan kemudian membawa keempat kawannya itu menghadap Sang Buddha. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan kemudian diterima menjadi Bhikkhu.

Setelah mendapat penjelasan tambahan keempat orang ini dalam waktu singkat mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian jumlah Arahat pada waktu itu sebelas orang.

Tetapi bhikkhu Yasa mempunyai banyak teman lagi yang berada di tempat-tempat jauh, semuanya berjumlah lima puluh orang. Mendengar sahabat mereka menjadi bhikkhu, mereka pun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak bhikkhu Yasa. Mereka semua diterima menjadi bhikkhu dan dalam waktu singkat semuanya mencapai tingkat Arahat, sehingga pada waktu itu terdapat enam puluh satu orang Arahat.

Pemutaran Roda Dhamma










Setelah tiba di Benares, kelima orang pertapa melihat Sang Buddha sedang memasuki taman rusa. Seorang dari lima pertapa itu mengatakan :

“Kawan-kawan, lihat pertapa Gotama sedang memasuki taman; ia adalah orang yang senang dengan kenikmatan dunia. Ia tergelincir dari penghidupan suci dan kembali ke penghidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Sebaiknya kita tidak usah menyapanya. Lagipula kita jangan memberi hormat kepadanya. Kita sebaiknya juga jangan menawarkan diri untuk menyambut mangkuk dan jubahnya. Kita hanya menyediakan tikar untuk tempat duduknya. Ia boleh menggunakannya kalau mau dan kalau tidak mau ia boleh berdiri saja. Siapakah yang mau mengurus seorang pertapa yang telah gagal!”

Waktu Sang Buddha datang lebih dekat, mereka melihat bahwa ada sesuatu yang berubah dan Sang Buddha tidak sama dengan pertapa Gotama yang dulu mereka kenal. Ia sekarang kelihatannya lebih mulia dan agung yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Meskipun mereka semula sudah sepakat untuk tidak menghormat kepada Sang Buddha, namun sewaktu Sang Buddha mendekat, mereka seolah-olah lupa kepada apa yang mereka sepakati.

Seorang di antara mereka maju ke depan dan dengan hormat menyambut mangkuk dan jubah-Nya, sedangkan yang lain sibuk menyiapkan tempat duduk dan yang lain lagi bergegas-gegas mengambil air untuk membasuh kaki Sang Buddha.

Setelah mengambil tampat duduk Sang Buddha lalu berkata :

“Dengarlah, O pertapa. Aku telah menemukan jalan yang menuju ke keadaan terbebas dari kematian. Akan kuberitahukan kepadamu. Akan kuajarkan kepadamu. Kalau engkau ingin mendengar, belajar dan melatih diri seperti yang akan kuajarkan, dalam waktu singkat engkau pun dapat mengerti, bukan nanti di kelak kemudian hari, tetapi sekarang juga dalam penghidupan ini, bahwa apa yang kukatakan itu adalah benar. Engkau dapat menyelami sendiri keadaan itu yang berada di atas hidup dan mati.”

Tentu saja kelima pertapa merasa heran sekali mendengar ucapan Sang Buddha, sebab mereka melihat sendiri Beliau berhenti berpuasa; mereka melihat sendiri Beliau menghentikan semua usaha untuk menemukan Penerangan Agung, dan sekarang Beliau datang kepada mereka untuk memberitahukan, bahwa Beliau telah menemukan Penerangan Agung itu. Karena itu mereka tidak percaya akan apa yang Sang Buddha katakan.
Mereka menjawab:

“Sahabat (avuso) Gotama, sewaktu kami masih berdiam bersama-sama Anda, Anda telah berlatih dan menyiksa diri Anda seperti yang belum pernah dilakukan oleh siapa pun juga di seluruh Jambudipa. Karena itulah kami menganggap Anda sebagai pemimpin dan guru kami. Tetapi dengan segala cara penyiksaan diri itu ternyata Anda tidak berhasil menemukan apa yang Anda cari, yaitu Penerangan Agung. Setelah sekarang Anda kembali ke penghidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan dan berhenti berusaha dan melatih diri, mana mungkin Anda sekarang telah menemukannya?”

“Kamu keliru, pertapa. Aku tidak pernah berhenti berusaha. Aku tidak kembali ke penghidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Dengarlah apa yang kukatakan. Aku sesungguhnya telah memperoleh Kebijaksanaan yang Tertinggi. Dan dapat mengajar kamu untuk juga memperoleh Kebijaksanaan tersebut untuk dirimu sendiri.”

Setelah kelima pertapa bersedia mendengarkan khotbah-Nya, maka Sang Buddha memberikan khotbah-Nya yang pertama yang kelak dikenal sebagai “Dhammacakkappavattana Sutta” (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma). Khotbah pertama diucapkan oleh Sang Buddha tepat pada saat Purnamasidi di bulan Asalha.

Setelah Sang Buddha selesai berkhotbah, Kondanna memperoleh Mata Dhamma karena dapat mengerti (anna) dengan jelas makna khotbah tersebut dan menjadi seorang Sotapanna (makhluk suci tingkat kesatu).
Anna Kondanna yang sekarang tidak meragu-ragukan lagi ajaran Sang Buddha mohon untuk dapat diterima sebagai murid. Sang Buddha meluluskan permohonan ini dan mentahbiskannya dengan kata-kata, “Mari (ehi) bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakan kehidupan suci dan singkirkanlah penderitaan.”

Dengan demikian Anna Kondana menjadi bhikkhu pertama yang ditahbiskan dengan ucapan “ehi bhikkhu”.
Sejak hari itu Sang Buddha tinggal di Taman Rusa dan tiap hari Beliau memberikan uraian Dhamma kepada lima orang pertapa tersebut.

Dua hari setelah itu, pertapa Vappa dan Bhaddiya memperoleh Mata Dhamma dan kemudian ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu”.

Dan dua hari kemudian, pertapa Mahanama dan Assaji memperoleh Mata Dhamma dan ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu”.

Lima hari setelah memberikan khotbah pertama, Sang Buddha memberikan khotbah kedua dengan judul “Anattalakkhana Sutta”.

Setelah mengajar kelima orang bhikkhu itu untuk menganalisa badan jasmani dan batin menjadi lima khandha, Sang Buddha lalu menanyakan pendapat mereka mengenai hal yang di bawah ini :

“Oh, Bhikkhu, bagaimana pendapatmu, apakah Khandha itu kekal atau tidak kekal?”
“Mereka tidak kekal, Bhante.”
“Di dalam sesuatu yang tidak kekal, apakah terdapat kebahagiaan atau penderitaan?”
“Di sana terdapat penderitaan, Bhante.”
“Mengenai sesuatu yang tidak kekal dan penderitaan, ditakdirkan untuk musnah, apakah tepat kalau dikatakan bahwa itu adalah ‘milikku,’ ‘aku’ dan ‘diriku’?”
“Tidak tepat, Bhante.”

Sewaktu kelima bhikkhu tersebut merenungkan khotbah Sang Buddha, mereka semua dapat membersihkan diri mereka dari segala kekotoran batin (Asava) dan terbebas seluruhnya dari Kemelekatan (Upadana) dan mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat.

Tujuh Minggu Setelah Penerangan Agung

Selama minggu pertama sang Buddha duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan menikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari gangguan-gangguan batiniah, sehingga batin-Nya tenang sekali dan penuh kedamaian.


Selama minggu kedua Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari pohon Bodhi dan memandangnya terus-menerus dengan mata tidak berkedip selama satu minggu sebagai cetusan terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah memberi-Nya tempat untuk berteduh sewaktu bergulat untuk mencapai tingkat Buddha. Mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Sang Buddha dahulu, sekarang pun umat Buddha memberi penghormatan kepada pohon Bodhi.


Selama minggu ketiga Sang Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas yang dicipta-Nya di udara, karena melalui mata dewa-Nya Sang Buddha mengetahui, bahwa dewa-dewa di sorga masih meragukan apakah Beliau benar telah mencapai Penerangan Agung.


Selama minggu keempat Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan-Nya. Di kamar permata itulah Sang Buddha bermeditasi mengenai Abhidhamma, yaitu ajaran mengenai ilmu jiwa dan metafisika. Batin dan badan jasmani-Nya telah menjadi demikian bersih, sehingga mengeluarkan sinar-sinar berwarna biru, kuning, merah, putih dan jingga dan campuran kelima warna tersebut. Kini warna-warna tersebut diabadikan sebagai bendera umat Buddha.


Selama minggu kelima Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Ajapala Nigrodha (pohon beringin), tidak jauh dari pohon Bodhi.


Di sinilah tiga orang anak Mara, yaitu : Tanha, Arati dan Raga masih berusaha untuk mengganggunya. Mereka menampakkan diri sebagai tiga orang gadis yang elok dan menggiurkan yang dengan berbagai macam tarian yang erotis (penuh nafsu birahi), diiringi nyanyian yang merdu dan bisikan yang memabukkan, berusaha untuk merayu dan menarik perhatian Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menutup mata-Nya dan tidak mau melihat, sehingga akhirnya tiga orang dewi hawa nafsu itu meninggalkan Sang Buddha.


Selama minggu keenam Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Mucalinda. Karena waktu itu turun hujan lebat, maka datanglah seekor ular kobra yang besar sekali dan melibatkan badannya tujuh kali memutari badan Sang Buddha dan kepalanya memayungi Sang Buddha supaya jangan sampai terkena air hujan. Waktu hujan berhenti, ular itu berubah bentuknya menjadi seorang anak muda. 
Pada waktu itulah Sang Buddha mengucapkan kata-kata sebagai berikut:


“Berbahagialah mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang dapat mendengar dan melihat kesunyataan. Berbahagialah mereka yang bersimpati kepada makhluk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah yang hidup di dunia dengan tidak melekat kepada apa pun dan mengatasi hawa nafsu. Lenyapnya “Sang Aku” merupakan berkah yang tertinggi.”


Selama minggu ketujuh Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Rajayatana. Pada hari ke-50 pagi hari, setelah berpuasa selama tujuh minggu, dua orang pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha sedang duduk. Mereka, Tapussa dan Bhallika, menghampiri Sang Buddha dan mempersembahkan makanan dari beras dan madu. Sang Buddha agak tertegun sejenak, karena mangkuk yang Beliau terima dari Sujata telah dihanyutkan di sungai Neranjara dan sejak jaman dahulu tidak pernah seorang Buddha menerima makanan dengan kedua tangan-Nya. Tiba-tiba empat orang dewa dari empat penjuru alam (Catumaharaja yaitu Dhatarattha dari sebelah Timur, Virulhaka dari Selatan, Virupakkha dari Barat dan Kuvera dari Utara) datang menolong dengan membawa seorang satu mangkuk yang dipersembahkan kepada Sang Buddha. Sang Buddha menerima empat mangkuk tersebut dan dengan kekuatan gaib-Nya dijadikan satu mangkuk.


Sang Buddha dengan demikian dapat menerima persembahan dari Tapussa dan Bhallika. Selesai Sang Buddha makan, maka kedua pedagang itu mohon diterima sebagai pengikut.


Mereka diterima sebagai upasaka-upasaka pertama yang berlindung kepada Sang Buddha dan Dharma. Kemudian mereka mohon diberikan suatu benda yang mereka dapat bawa pulang. Sang Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan dan memberikan beberapa lembar rambut (Kesa Dhatu = Relik Rambut). Tapussa dan Bhallika dengan gembira menerima Kesa Dhatu tersebut dan setelah tiba di tempat mereka tinggal, mereka mendirikan sebuah pagoda untuk memuja Kesa Dhatu ini.


Setelah makan Tapussa dan Bhallika melanjutkan perjalanannya. Sang Buddha merenung apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau tidak.


Sebab Dhamma itu dalam sekali dan sulit untuk dimengerti, sehingga menimbulkan perasaan enggan dalam diri Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma.


Tiba-tiba Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini, turun dari Brahmaloka dan berdiri di hadapan Sang Buddha. Setelah memberi hormat yang layak, Brahma Sahampati berkata kepada Sang Buddha :


“Semoga Sang Tathagata, demi belas kasihan kepada para manusia, berkenan mengajarkan Dhamma. Dalam dunia ini terdapat juga orang-orang yang sedikit dihinggapi kekotoran batin dan mudah dapat mengerti Dhamma yang akan diajarkan.”


Hingga kini permohonan Brahma Sahampati kepada Sang Buddha tetap diperingati dengan permohonan kepada seorang Bhikkhu untuk mengajar Dhamma yang berbunyi sebagai berikut :


“Brahma ca lokadhipati Sahampati
Katanjali adhivarang ayacatha
Santidha sattapparajakka jatika
Desetu Dhammang anukampimang pajang.”


Artinya :

“Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini
Merangkap kedua tangannya dan memohon,
Ada makhluk-makhluk yang dihinggapi sedikit kekotoran batin
Demi belas kasihan kepada mereka, ajarkanlah mereka Dhamma.”


Dengan mata dewa Sang Buddha dapat mengetahui bahwa memang ada orang-orang yang tidak lagi terlalu terikat kepada hal-hal duniawi dan mudah mengerti Dhamma.


Karena itu Sang Buddha mengambil ketetapan hati untuk mengajar Dhamma demi belas kasihan-Nya kepada umat manusia. Kesediaan-Nya itu diutarakan dengan mengucapkan kata-kata sebagai berikut :


“Aparuta tesang amatassa dvara
Ye sotavanto pamuncan tu saddhang.”


Artinya :

“Terbukalah pintu Kehidupan Abadi
Bagi mereka yang mau mendengar dan mempunyai keyakinan.”


Perhatian-Nya kemudian ditujukan kepada Alara Kalama, tetapi para dewa segera memberitahukan, bahwa Alara seminggu yang lalu telah meninggal dunia. Kemudian perhatian-Nya ditujukan kepada Uddaka Ramaputta, namun para dewa juga mengatakan, bahwa kemarin malam Uddaka meninggal dunia. Selanjutnya Sang Buddha mengalihkan perhatian-Nya kepada lima orang pertapa yang pernah bersama-sama melakukan pertapaan. Kelima orang itu sekarang berada di taman rusa di kota Benares, ibukota negara Kasi.


Sang Buddha segera berangkat menuju ke taman rusa di Benares. Dalam perjalanan ke Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka bernama Upaka. Terpesona melihat Sang Buddha yang wajahnya demikian cemerlang, Upaka bertanya siapakah guru Sang Buddha. Sang Buddha menjawab bahwa Beliau adalah Orang Yang Maha Tahu dan tidak mempunyai guru siapa pun juga. Tetapi Upaka nampaknya sama sekali tidak terkesan. Ia menggelengkan kepala dan kemudian meneruskan perjalanannya, sedangkan Sang Buddha sendiri juga melanjutkan perjalanan-Nya ke Benares.




Penerangan Agung

Pertapa Gotama meneruskan perjalanannya dan pada sore hari tiba di Gaya. Ia memilih tempat untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi (Latin : Ficus Religiosa), kemudian mempersiapkan tempat duduk di sebelah timur pohon itu dengan rumput kering yang diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Di tempat itulah pertapa Gotama duduk bermeditasi dengan wajah menghadap ke Timur dengan tekad yang bulat. Ia kemudian berkata dalam hati : 
 
“Dengan disaksikan oleh bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Penerangan Agung dan mencapai Nibbana.”
 
Kemudian pertapa Gotama melakukan meditasi Anapanasati, yaitu meditasi dengan menggunakan obyek keluar dan masuknya napas. Tidak seberapa lama pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya, seperti keinginan kepada benda-benda duniawi, tidak menyukai penghidupan suci yang bersih dan baik, perasaan lapar dan haus yang luar biasa; keinginan yang sangat dan melekat kepada benda-benda, malas dan tidak suka mengerjakan apa-apa; takut kepada jin-jin, hantu-hantu jahat; keragu-raguan, kebodohan, keras kepala, keserakahan; keinginan untuk dipuji dan dihormati dan hanya melakukan hal-hal yang membuat dirinya terkenal; tinggi hati dan memandang rendah kepada orang lain.
 
Perjuangan hebat dalam batin pertapa Gotama melawan keinginan dan nafsu-nafsu tidak baik, dalam buku-buku suci digambarkan sebagai perjuangan melawan Dewa Mara yang jahat, seperti dapat diikuti dalam pembabaran di bawah ini.
 
Pada saat itu muncul Mara, dewa hawa nafsu, yang bermaksud menghalang-halangi pertapa Gotama memperoleh Penerangan Agung, disertai bala tentaranya yang maha besar. Bala tentara itu ke depan, ke kanan dan ke kiri lebarnya 12 league dan ke belakang sampai ke ujung cakrawala, sedangkan tingginya 9 league. Mara sendiri membawa berbagai macam senjata dan duduk di atas gajah Girimekhala yang tingginya 150 league. Melihat bala tentara yang demikian besar datang, semua dewa yang sedang berkumpul di sekeliling pertapa Gotama, seperti Maha-Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala dan lain-lain cepat-cepat menyingkir dari tempat itu dan pertapa Gotama ditinggal sendirian dengan hanya berlindung kepada sepuluh Paramita yang sejak lama dilatihnya. Semua usaha Mara untuk menakut-nakuti pertapa Gotama dengan hujan besar disertai angin kencang dan halilintar yang berbunyi tak henti-hentinya diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain yang mengerikan ternyata gagal semua dan akhirnya Mara menyambit dengan Cakkavudha yang ternyata berubah menjadi payung yang dengan tenang bergantung dan melindungi kepala pertapa Gotama.
 
Bumi telah menjadi saksi, bahwa pertapa Gotama lulus dari semua percobaan-percobaan dan layak untuk menjadi Buddha. Gajah Girimekhala berlutut di hadapan pertapa Gotama dan Mara menghilang dan lari bersama-sama dengan bala tentaranya. Para dewa yang menyingkir sewaktu Mara tiba dengan bala tentaranya datang kembali dan semua bersuka cita dengan keberhasilan pertapa Gotama.
 
Setelah berhasil mengalahkan Mara, pertapa Gotama memperoleh Pubbernivasanussatinana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kelahiran-kelahirannya yang dulu. Hal ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara jam 18.00 – 22.00.
 
Pada waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00 – 02.00, pertapa Gotama memperoleh Cutupapatanaria, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kematian dan tumimbal lahir kembali dari makhluk-makhluk sesuai dengan tumpukan karma mereka masing-masing. Tumpukan karma yang berlainan inilah yang membuat satu makhluk berbeda dengan makhluk lain. Kemampuan ini juga dinamakan Dibbacakkunana, yaitu kebijaksanaan dari Mata Dewa.
 
Pada waktu jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00 – 04.00, pertapa Gotama memperoleh Asavakkhayanana, yaitu kebijaksanaan yang dapat menyingkirkan secara menyeluruh semua Asava (kekotoran batin yang halus sekali).
 
Dengan demikian ia mengerti sebab dari semua keburukan dan juga mengerti cara untuk menghilangkannya. Dengan ini ia telah menjadi orang yang paling bijaksana dalam dunia yang dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadanya. Sekarang ia mendapat jawaban tentang cara untuk mengakhiri penderitaan, kesedihan, ketidak-bahagiaan, usia tua dan kematian. Batinnya menjadi tenang sekali dan penuh kedamaian, karena sekarang ia mengerti semua persoalan hidup dan menjadi Buddha.
 
Dengan muka bercahaya terang, penuh kebahagiaan, pertapa Gotama dengan suara lantang mengeluarkan pekik kemenangan sebagai berikut :
 
“Anekajati samsarang
Sandhavissang anibbissang
Gohakarakang gavesanto
Dukkha jati punappunang.
Gahakaraka! dittho’si
Punagehang na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutang visamkhitang
Visamkharagatang cittang
Tanhanang khayamajjhaga.”

Artinya :

“Dengan sia-sia aku mencari Pembuat Rumah ini
Berlari berputar-putaran dalam lingkaran Tumimbal Lahir
Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habisnya
O, Pembuat Rumah, sekarang telah kuketahui
Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi
Semua atapmu telah kurobohkan
Semua sendi-sendimu telah kubongkar
Batinku sekarang mencapai keadaan Nibbana
Dan berakhirlah semua nafsu-nafsu keinginan.”

Di kisahkan bahwa pada saat itu bumi tergetar karena gembira dan di udara sayup-sayup terdengar suara musik yang merdu; seluruh tempat itu penuh dengan kehadiran para dewa yang turut bergembira dan ingin melihat orang yang berhasil mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha; pohon-pohon mendadak berbunga dan menyebarkan bau harum ke seluruh penjuru; binatang hutan yang biasanya saling bermusuhan pada waktu itu dapat hidup berdampingan dengan damai.
 
Demikianlah Pangeran Siddhattha yang dilahirkan pada saat purnama sidhi di bulan Vaisak tahun 623 SM, menikah pada usia 16 tahun, meninggalkan istana pada usia 29 tahun, setelah bertapa selama 6 tahun menjadi Buddha pada usia 35 tahun.

Bertapa di hutan Uruvela

Dari tepi sungai Anoma, Pangeran pergi ke kebun mangga di Anupiya. Setelah tujuh hari diam di Anupiya, Pangeran pada suatu pagi berjalan ke arah Rajagaha untuk mulai dengan meminta-minta makanan kepada penduduk. Kedatangan Pangeran di Rajagaha ternyata mendapat perhatian dari seorang pembantu Raja Bimbisara yang terus mengikutinya sampai di Pandavapabbata, tempat Pangeran beristirahat untuk makan dari hasil perjalanan kelilingnya. Raja Bimbisara dilaporkan tentang kedatangan seorang pertapa yang paras mukanya kelihatan agung dan sekarang sedang beristirahat di Pandavapabbata.

Raja Bimbisara datang menemui pertapa Siddhattha dan kemudian menanyakan nama, nama orang tuanya dan mengapa ia menjadi seorang pertapa.

“Mengapa Anda melakukan hal ini? Apakah Anda berselisih paham dengan Ayah Anda? Tinggal saja denganku di sini dan aku akan menghadiahkan Anda setengah dari kerajaanku.”

“Terima kasih banyak, Baginda. Aku sangat cinta kepada orangtuaku, istriku, anakku, Anda sendiri dan kepada semua orang. Aku hendak mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit dan mati. Karena itulah aku menjadi seorang pertapa.”

“Kalau tawaranku tidak diterima, yah, apa boleh buat. Tetapi harap Anda berjanji untuk terlebih dahulu mengunjungi Rajagaha apabila kelak berhasil menemukan obat tersebut.”

“Baiklah, Baginda, aku berjanji.”

Dari Rajagaha pertapa Siddhattha meneruskan perjalanannya dan tiba di dekat tempat pertapaan Alara-Kalama. Di tempat ini pertapa Siddhattha (juga disebut pertapa Gotama) berguru kepada Alara-Kalama dan dalam waktu singkat sudah dapat menyamai kepandaian gurunya.

Di tempat ini pertapa Gotama diajar cara-cara bermeditasi dan pengertian tentang Hukum Kamma dan Tumimbal Lahir.

Karena merasa bahwa dengan pengetahuan ini masih belum terjawab tentang sebab musabab dari kelahiran dan bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan mati, maka pertapa Gotama melanjutkan perjalanannya untuk mencari orang yang dapat mengajar tentang hal tersebut.

Pertapa Gotama kemudian berguru kepada Uddaka-Ramaputta yang pada zaman itu terkenal sebagai seorang pertapa yang paling pandai.

Dari Uddaka-Ramaputta pertapa Gotama mendapat pelajaran tentang cara bermeditasi yang paling tinggi sehingga mencapai keadaaan “Bukan-Pencerapan” juga bukan “Bukan-Pencerapan”. Karena dalam waktu singkat pertapa Gotama sudah memahami semua pelajaran Uddaka-Ramaputta, maka gurunya minta agar ia terus berdiam di tempat tersebut untuk bersama-sama membina murid-muridnya yang banyak sekali.

Tetapi pertapa Gotama masih belum puas, sebab ia masih belum mendapat jawaban tentang bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan mati.

Pertapa Gotama kemudian pergi ke Senanigama di Uruvela dan di tempat inilah pertapa Gotama bersama-sama dengan 5 orang pertapa lain (Bhaddiya, Vappa, Mahanama, Assaji dan Kondanna) berlatih dalam berbagai cara penyiksaan diri. Mereka melatih diri dengan menjemur diri di terik matahari pada siang hari dan pada waktu tengah malam berendam di sungai untuk waktu yang lama. Karena masih saja belum berhasil maka pertapa Gotama lalu malakukan latihan yang lebih berat lagi.

Ia merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langit mulutnya sehingga keringat mengucur ke luar dari ketiak-ketiaknya. Demikian hebat sakit yang dideritanya sehingga dapat diumpamakan sebagai orang kuat yang gagah perkasa memegang seorang yang lemah di kepala atau lehernya dan menekan dengan sekuat tenaga.

Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya.

Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain. Ia kemudian sedikit demi sedikit menahan napasnya sampai napasnya tidak lagi ke luar melalui hidung atau mulut, tetapi dengan mengeluarkan suara mendesis  yang mengerikan keluar melalui lubang telinga. Kemudian timbul sakit yang hebat di kepala dan di perut disusul dengan panas yang menjalar ke seluruh tubuh.

Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya, ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya.

Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain.

Selanjutnya ia berpuasa dan tidak makan apa-apa sampai berhari-hari atau mengurangi makannya sedikit demi sedikit sampai makan hanya beberapa butir nasi satu hari. Tentu saja kesehatannya memburuk dan badannya kurus sekali. Kalau perutnya ditekan maka tulang punggungnya dapat dipegang dan kalau punggungnya ditekan maka perutnya dapat dipegang. Ia merupakan tengkorak hidup dengan tulang-tulang dilapisi kulit dan dagingnya sudah tidak ada lagi. Warna kulitnya berubah menjadi hitam dan rambutnya banyak yang rontok. Kalau berdiri tidak bisa diam karena kakinya gemetaran.

Seperti cara-cara yang terdahulu, ia kemudian melihat, bahwa cara ini tidak membawanya ke Penerangan Agung. Secara tiba-tiba timbul dalam batinnya tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah terpikir.



Pertama :
“Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari menggosok kedua kayu itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indriya dan batinnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil.”

Kedua :
“Kalau sekiranya sepotong kayu basah diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari menggosok kedua kayu itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indriya tetapi batinnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil.”

Ketiga :
“Kalau sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini pasti dapat membuat api dari menggosok kedua kayu kering itu. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indriya tetapi batinnya juga tidak terikat lagi, maka pertapa dan Brahmana itu berada dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung.”

Setelah merenungkan tiga perumpamaan tersebut, maka pertapa Gotama mengambil keputusan untuk berhenti berpuasa. Sehabis mandi di sungai dan ingin kembali ke gubuknya, pertapa Gotama terjatuh dan pingsan di tepi sungai. Waktu siuman ia sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Untung pada waktu itu lewat seorang anak penggembala kambing bernama Nanda yang melihatnya sedang tergeletak kehabisan tenaga di tepi sungai. Dengan cepat ia memberikan pertapa itu air susu kambing sehingga dengan perlahan-lahan tenaga pertapa Gotama pulih kembali dan ia dapat melanjutkan perjalanannya ke gubuk tempat ia bertapa. Sejak hari itu pertapa Gotama diberi makan air tajin untuk mengembalikan kekuatan dan kesehatannya dan tidak lama kemudian pertapa Gotama sudah dapat makan juga makanan lain, sehingga dengan demikian kesehatannya pulih kembali.

Namun lima orang kawannya yang bersama-sama bertapa merasa kecewa sekali, karena dengan berhenti berpuasa pertapa Gotama dianggap telah gagal dalam pertapaannya dan tidak mungkin akan memperoleh Penerangan Agung. Mereka meninggalkannya dan pergi ke taman rusa di Benares.

Pada suatu hari serombongan penari ronggeng lewat dekat gubuk pertapa Gotama. Sambil berjalan mereka bergurau dan bergembira dan seorang di antaranya bernyanyi dengan syair sebagai berikut :

“Kalau tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau ditarik terlalu kendor, ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terlalu rendah atau keras. Orang yang memainkannyalah yang harus pandai menimbang dan mengira.”

Mendengar nyanyian itu pertapa Gotama mengangkat kepalanya dan memandang dengan heran kepada rombongan penari ronggeng tersebut. Dalam hatinya ia berkata :

“Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) mesti menerima pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah menarik demikian keras tali penghidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu kendor.”

Di dekat tempat itu tinggal pula seorang wanita muda kaya raya bernama Sujata. Sujata ingin  membayar kaul kepada dewa pohon karena permohonannya supaya diberi seorang anak laki-laki terkabul. Hari itu Sujata mengirim pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah pohon di mana ia ingin mempersembahkan makanan yang lezat-lezat kepada dewa pohon. Ia agak terkejut waktu pelayannya dengan tergesa-gesa kembali dan memberitahukan : “Oh, nyonya, dewa pohon itu sendiri telah datang dari kayangan untuk menerima langsung persembahan nyonya. Beliau sekarang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Alangkah beruntungnya bahwa dewa pohon berkenan untuk menerima sendiri persembahan nyonya.”

Sujata gembira sekali mendengar berita tersebut. Setelah makanan selesai dimasak, berangkatlah Sujata ke hutan. Sujata merasa kagum melihat dewa pohon dengan wajah yang agung sedang bermeditasi. Ia tidak tahu, bahwa orang yang dikira sebagai dewa pohon sebenarnya adalah pertapa Gotama. Dengan hati-hati makanan ditempatkan ke dalam mangkuk dan dengan hormat dipersembahkan kepada pertapa Gotama yang dikira Sujata adalah dewa pohon.

Pertapa Gotama menyambut persembahan ini. Setelah habis makan terjadilah percakapan antara pertapa Gotama dan Sujata seperti di bawah ini :

“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?”

“Tuanku yang terpuja, makanan yang telah aku persembahkan kepada Tuanku adalah cetusan terima kasihku karena Tuanku telah meluluskan permohonanku agar dapat diberi seorang anak laki-laki.”

Kemudian pertapa Gotama menyingkap kain yang menutup kepala bayi dan meletakkan tangannya di dahinya sambil memberi berkah :

“Semoga berkah dan keberuntungan selalu menjadi milikmu. Semoga beban hidup akan engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi pertapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada manusia yang berada dalam kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat ini aku akan berhasil memperoleh sinar terang tersebut. Dalam hal ini persembahan makananmu telah banyak membantu, karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itu dengan persembahanmu ini engkau akan mendapat berkah yang sangat besar. Tetapi, adikku yang baik, coba katakan, apakah engkau sekarang bahagia dan apakah penghidupan yang disertai cinta saja sudah memuaskan?”

“Tuanku yang terpuja, karena aku tidak menuntut banyak maka hatiku dengan mudah mandapat kepuasan. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk bunga Lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi basah. Aku sudah merasa bahagia dapat memandang wajah suamiku yang sabar atau melihat senyum bayi ini. Setiap hari dengan senang hati aku mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak, memberi sajen kepada para dewata, menyambut suamiku yang pulang dari pekerjaan; apalagi sekarang dengan dilahirkannya seorang anak laki-laki yang menurut buku-buku suci akan membawa berkah kalau kelak kami meninggal dunia. Juga aku tahu bahwa kebaikan datang dari perbuatan baik dan kemalangan datang dari perbuatan jahat yang berlaku bagi semua orang dan pada setiap waktu, sebab buah yang manis muncul dari pohon yang baik dan buah yang pahit keluar dari pohon yang penuh racun. Apakah yang harus ditakuti oleh orang yang berkelakuan baik kalau nanti tiba saatnya mesti mati?”

“Kau sudah mengajar kepada orang yang seharusnya menjadi gurumu, dalam penjelasanmu yang sederhana itu terdapat sari dari kebajikan yang lebih nyata dari kebajikan yang tinggi, meskipun engkau tidak belajar apa-apa namun engkau tahu jalan kebenaran dan menyebar keharumanmu ke semua pelosok. Sebagaiman engkau sudah mendapat kepuasan, semoga aku pun akan mendapatkan apa yang aku cari. Aku, yang engkau pandang sebagai seorang dewa, minta didoakan supaya aku dapat berhasil melaksanakan cita-citaku.”

Pertapa Gotama kemudian melanjutkan perjalanannya dengan membawa mangkuk kosong. Ia menuju ke tepi sungai Neranjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di tepi sungai pertapa Gotama melempar mangkuknya ke tengah sungai dengan berkata :

“Kalau memang waktunya sudah tiba mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukan mengikuti arus.” Satu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.”