Thursday, February 27, 2014
Luang Phor Thuad lahir pada tahun 1582 di Desa Suan Can, daerah Chumphol, Sathing Phra di Songkla bagian selatan Thailand. Dengan Orang tua bernama Khun Hu dan Mae Chan yang merupakan pasangan suami-isteri dengan hidup sangat sederhana (miskin) serta tinggal di daerah kekuasaan Raja Shrentthi Pan yang kaya raya. Kedua orang tua memberi nama "Pu" (yang berarti kepiting) pada Luang Phor Thuad yang masih kecil.
Para pemilik kapal pertama kali marah karena mereka tidak percaya bahwa air laut bisa diminum. Setelah ada kata jaminan Luang Phor Thuad, lalu mereka mencoba untuk meminumnya dan memang benar bisa diminum. tapi satu orang dengan sengaja meminum air di luar lingkaran dan memang terasa asin. Pemiik kapal itu terkagum-kagum dan akhirnya mereka tidak berani mencelakai Luang Phor Thuad.
Wednesday, February 26, 2014
Maha Kassapa
Dalam perjalanan ke Rajagaha, Sang Buddha tiba di suatu tempat perbatasan antara kota Rajagaha dan Nalanda dan beristirahat di bawah pohon beringin Bahuputtaka.
Pada
waktu itu, seorang pertapa bernama Pipphali lewat di tempat itu.
Pipphali adalah anak seorang Brahmana dari keluarga Kassapa yang bernama
Kapila dengan istrinya yang bernama Sumanadevi dari desa Mahatittha di
negara Magadha.
Ia
menghampiri Sang Buddha dan setelah mengetahui bahwa yang diajak bicara
adalah seorang Buddha, Pipphali mohon diterima menjadi murid.
Sang
Buddha mentahbiskannya dengan cara memberikan tiga buah nasehat, “Oh,
Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup
sederhana dan patuh kepada para bhikkhu yang tua, yang muda, dan yang
setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarakan Dhamma dengan baik,
memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu
menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus-menerus mengambil tubuhmu
sebagai objek meditasi.”
Setelah
ditahbiskan, Kassapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan
jubah Sang Buddha yang sudah tua. Kemudian Sang Buddha bangkit dan
meneruskan perjalanan-Nya menuju Rajagaha.
Bangga
karena merasa mendapat kehormatan besar dapat memakai jubah bekas Sang
Buddha, Kassapa kemudian dengan tekun melaksanakan latihan Dhutanga.
Pada hari ke delapan, ia mencapai tingkat kesucian Arahat.
Maha
Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari
seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama menjadi bhikkhu sampai
berusia lanjut, Maha Kassapa selalu tinggal di hutan. Tiap hari
mengumpulkan makanan, selalu memakai baju bekas (pembungkus mayat),
sudah puas dengan pemberian yang sedikit (kecil), selalu hidup menjauhi
masyarakat ramai dan terkenal rajin sekali.
Menjawab
pertanyaan, mengapa Beliau menuntut kehidupan yang demikian keras, Maha
Kassapa mengatakan bahwa Beliau berbuat semuanya itu bukan hanya untuk
kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi juga demi kebahagiaan orang lain di
kemudian hari. Maha Kassapa dipandang sebagai contoh yang baik sekali
untuk orang-orang yang benar-benar ingin melaksanakan hidup suci.
Sebagai penghormatan, Beliau diberi nama Maha Kassapa (Kassapa Agung).
Tiga
bulan setelah Sang Buddha meninggal dunia, Maha Kassapa mengetuai
Sidang Agung (Sangha-Samaya) yang pertama dengan dihadiri oleh 500 orang
Arahat di Goa Sattapanni, kota Rajagaha untuk menghimpun semua tata
tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni dan semua khotbah Sang Buddha
yang pernah diberikan di tempat-tempat yang berlainan, kepada
orang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula selama 45
tahun.
Maha Kassapa meninggal dunia pada usia 120 tahun.
Kisah Kassapa Bersaudara
Di tiga tempat sepanjang Sungai Neranjara, tinggal tiga orang Kassapa bersaudara yang menjadi pemimpin kaum Jatila yang memuja api. Yang tertua disebut Uruvela Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hulu sungai dan mempunyai pengikut sebanyak lima ratus orang. Yang kedua disebut Nadi Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hilir sungai dan mempunyai pengikut sebanyak tiga ratus orang. Yang ketiga disebut Gaya Kassapa, bertempat tinggal di tempat lebih hilir dari Nadi Kassapa dan mempunyai pengikut sebanyak dua ratus orang.
Pada
suatu hari, Sang Buddha tiba di Uruvela dan mengunjungi Uruvela
Kassapa. Di tempat ini Sang Buddha harus memperlihatkan kekuatan gaib
untuk menundukkan Uruvela Kassapa yang ternyata juga mahir dalam
melakukan ilmu-ilmu gaib. Salah satu contoh dapat diceritakan sebagai
berikut :
“Kalau Anda tidak keberatan, Kassapa, Aku ingin bermalam di pondokmu.”
“Tentu
saja tidak, Gotama Yang Mulia, aku tidak keberatan Anda bermalam di
pondokku. Tetapi Anda harus tahu bahwa seekor ular kobra yang besar dan
ganas sekali menjaga api suci yang terdapat di pondokku. Tiap malam ular
itu keluar dan aku khawatir Anda akan celaka.” jawab Uruvela Kassapa.
“Oh, tidak apa-apa. Kalau Anda tidak keberatan, Aku akan bermalam di pondokmu.”
“Kalau begitu baiklah. Selamat malam dan semoga Anda selamat.”
Sang
Buddha juga mengucapkan selamat malam kepada Uruvela Kassapa dan masuk
ke dalam pondok. Sang Buddha duduk bermeditasi dan menunggu munculnya
ular kobra tersebut.
Waktu
tengah malam, benar saja seekor ular kobra besar datang menghampiri
Sang Buddha. Ular itu menyemburkan uap beracun dan mencoba menggigit
Sang Buddha. Tetapi semburan uap beracun maupun usaha untuk menggigit
Sang Buddha ternyata sia-sia saja. Sang Buddha tetap duduk bermeditasi
dengan mengembangkan gaya-gaya Metta (cinta kasih) dan badan-Nya
seolah-olah dikelilingi oleh semacam perisai yang tidak dapat ditembus.
Esok
paginya, Uruvela Kassapa datang menjenguk Sang Buddha dan mengira akan
menemukan mayat-Nya. Ia terkejut melihat Sang Buddha sedang duduk
bermeditasi.
Uruvela
Kassapa bertanya apakah Sang Buddha tidak diganggu oleh ular kobra.
“Tidak, ular itu ada di sini.” jawab Sang Buddha dan membuka tutup
mangkuk yang biasa dipakai untuk menerima dana makanan.
Keluarlah
seekor ular kobra yang mendesis dengan ganas sehingga Uruvela Kassapa
cepat-cepat ingin menyingkir. Tetapi Sang Buddha menahannya dan berkata
bahwa Beliau mempunyai kemampuan untuk menjinakkan ular kobra.
Pada
kesempatan lain sewaktu turun hujan lebat dan semua tempat di daerah
itu digenangi air banjir, kembali Sang Buddha memperlihatkan kekuatan
gaib-Nya. Di tempat Sang Buddha berdiri atau berjalan, air “membelah”
membuka jalan, sehingga kaki dan tubuh Sang Buddha tidak basah kena air.
Akhirnya
Uruvela Kassapa dapat diyakinkan bahwa ia bukanlah tandingan Sang
Buddha dan ia juga tahu bahwa ia belum mencapai tingkat Arahat
sebagaimana dikiranya semula. Ia juga dapat diyakinkan bahwa pemujaan
api tidak dapat membawa orang ke Pembebasan Sempurna. Dengan lima ratus
orang pengikutnya, ia kemudian membuang semua peralatan yang dipakainya
dalam pemujaan api ke dalam sungai dan mohon ditahbiskan menjadi
bhikkhu.
Pada suatu
hari, Nadi Kassapa yang bertempat tinggal di sebelah hilir sungai
menjadi terkejut melihat banyak peralatan sembahyang terapung di sungai.
Ia mengira bahwa suatu bencana hebat telah menimpa diri kakaknya.
Dengan tergesa-gesa, diikuti tiga ratus orang pengikutnya, Nadi Kassapa pergi ke tempat Uruvela Kassapa.
Setelah
tiba, Nadi Kassapa melihat bahwa kakaknya sudah menjadi bhikkhu.
Selanjutnya Nadi Kasspa diberi penjelasan tentang sia-sianya memuja api,
sehingga akhirnya ia bersama-sama pengikutnya pun menjadi bhikkhu. Hal
yang sama juga terjadi pada diri Gaya Kassapa beserta para pengikutnya.
Dengan demikian tiga kelompok Jatila yang berjumlah 1.003 orang telah
menjadi pengikut Sang Buddha.
Setelah beberapa waktu di Uruvela, Sang Buddha beserta rombongan melanjutkan perjalanan-Nya menuju Gayasisa di tepi Sungai Gaya.
Di tempat itu Sang Buddha mengumpulkan murid-muridNya dan memberikan khotbah yang kemudian dikenal sebagai Adittapariyaya Sutta.
Setelah
Sang Buddha selesai memberikan khotbah, batin bhikkhu-bhikkhu tersebut
terbebas seluruhnya dari kemelekatan dan bersih dari kekotoran batin.
Mereka semua mencapai tingkat yang tertinggi, yaitu menjadi Arahat.
Pembabaran Dhamma
Pada
suatu hari, Sang Buddha memanggil berkumpul murid-muridNya yang
berjumlah enam puluh orang Arahat dan berkata, “Aku telah terbebas dari
semua ikatan-ikatan, oh bhikkhu, baik yang bersifat batiniah maupun yang
bersifat badaniah, demikian pula kamu sekalian. Sekarang kamu harus
mengembara guna kesejahteraan dan keselamatan orang banyak. Janganlah
pergi berduaan ke tempat yang sama.
Khotbahkanlah Dhamma yang mulia pada
awalnya, mulia pada pertengahannya, dan mulia pada akhirnya. Umumkanlah
tentang kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam
ungkapan dan dalam hakekatnya. Terdapat makhluk-makhluk yang matanya
hanya ditutupi oleh sedikit debu. Kalau tidak mendengar Dhamma, mereka
akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh manfaat yang besar. Mereka
adalah orang-orang yang dapat mengerti Dhamma dengan sempurna. Aku
sendiri akan pergi ke Senanigama di Uruvela untuk mengajarkan Dhamma.”
Kemudian
berangkatlah keenam puluh Arahat itu sendiri-sendiri ke berbagai
jurusan dan mengajar Dhamma kepada penduduk yang mereka jumpai. Sewaktu
mengajar, mereka kerap kali bertemu dengan orang yang ingin menjadi
bhikkhu. Karena mereka sendiri belum bisa mentahbiskannya, maka dengan
melakukan perjalanan jauh dan melelahkan mereka membawa orang itu
menghadap Sang Buddha. Melihat kesulitan ini maka Sang Buddha
memperkenankan para bhikkhu untuk memberikan pentahbisan sendiri.
“Aku
pekenankan kamu, oh Bhikkhu, untuk mentahbiskan orang di tempat-tempat
yang jauh. Inilah yang harus kamu lakukan. Rambut serta kumisnya harus
dicukur, mereka harus memakai jubah Kasaya (jubah yang dicelup dalam air
larutan kulit kayu tertentu), bersimpuh, merangkap kedua tangannya
dalam sikap menghormat dan kemudian berlutut di depan kaki bhikkhu.
Selanjutnya kamu harus mengucapkan dan mereka harus mengulang ucapanmu,
“Aku berlindung kepada Sang Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku
berlindung kepada Sangha, dan seterusnya.”
Mulai
saat itu terdapat dua cara pentahbisan, pertama yang diberikan Sang
Buddha sendiri dengan memakai kalimat “ehi bhikkhu” dan yang kedua
diberikan oleh murid-muridNya yang dinamakan pentahbisan
“Tisaranagamana”.
Dalam
perjalanan dari Uruvela ke Benares, pada suatu hari Sang Buddha tiba di
perkebunan kapas dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang.
Tidak jauh dari tempat itu, tiga puluh orang pemuda sedang bermain-main
yang diberi nama Bhaddavaggiya. Dua puluh sembilan orang sudah menikah,
hanya seorang belum. Ia membawa seorang pelacur. Selagi mereka sedang
bermain-main dengan asyik, pelacur tersebut menghilang dengan membawa
pergi perhiasan yang mereka letakkan di satu tempat tertentu.
Setelah
tahu apa yang terjadi, mereka mencari pelacur tersebut. Melihat Sang
Buddha duduk di bawah pohon, mereka menanyakan, apakah Sang Buddha
melihat seorang wanita lewat di dekat situ. Atas pertanyaan Sang Buddha,
mereka menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian Sang Buddha
berkata, “Oh, Anak-anak muda, cobalah pikir, yang mana yang lebih
penting. Menemukan dirimu sendiri atau menemukan seorang pelacur?”
Setelah mereka menjawab bahwa lebih penting menemukan diri mereka
sendiri, maka Sang Buddha kemudian berkhotbah tentang Anupubbikatha dan
Empat Kesunyataan Mulia. Mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan mohon
ditahbiskan menjadi bhikkhu. Setelah ditahbiskan, mereka dikirim ke
tempat-tempat jauh untuk mengajarkan Dhamma.
Yasa
Waktu itu di Benares bertempat tinggal seorang anak muda bernama Yasa. Yasa adalah anak seorang pedagang kaya raya dan sebagaimana juga halnya dengan Pangeran Siddhattha. Yasa pun memiliki tiga buah istana dan hidup dengan penuh kemewahan dikelilingi oleh gadis-gadis cantik yang menyajikan berbagai macam hiburan. Penghidupan yang penuh kesenangan ini berlangsung untuk beberapa lama sampai pada satu malam di musim hujan Yasa melihat satu pemandangan yang mengubah seluruh jalan hidupnya.
Malam itu ia
terbangun pada larut malam dan dari sinar lampu di kamarnya Yasa melihat
pelayan-pelayannya sedang tidur dalam berbagai macam sikap yang
membuatnya jemu dan muak sekali. Ia merasa seperti berada di tempat
pekuburan dengan dikelilingi mayat-mayat yang bergelimpangan. Sebab
tidak tahan lagi melihat keadaan itu, maka dengan mengucapkan, “Alangkah
manakutkan tempat ini!” Alangkah mengerikan tempat ini!” Yasa memakai
sandalnya dan meninggalkan istananya dalam keadaan pikiran kalut dan
penuh kecemasan. Ia berjalan menuju ke taman rusa di Isipatana. Waktu
itu menjelang pagi hari dan Sang Buddha sedang berjalan-jalan. Sewaktu
berpapasan dengan Yasa, Sang Buddha menegur: “Tempat ini tidak
menakutkan. Tempat ini tidak mengerikan. Mari duduk di sini. Aku akan
mengajarmu.”
Mendengar sapaan Sang Buddha, Yasa berpikir: “Kalau begitu baik juga kalau tempat ini tidak menakutkan dan tidak mengerikan.”
Yasa membuka sandalnya, menghampiri Sang Buddha, memberi hormat dan kemudian duduk di sisi Sang Buddha.
Sang Buddha
kemudian memberikan uraian yang disebut, yaitu uraian mengenai
pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di sorga sebagai
akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu dan faedahnya
melepaskan diri dari semua ikatan duniawi.
Selanjutnya Sang
Buddha memberikan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat
membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan. Setelah Sang Buddha
selesai memberikan uraian, Yasa memperoleh Mata Dhamma sewaktu masih
duduk di tempat itu. Yasa kemudian mencapai tingkat Arahat sewaktu Sang
Buddha mengulang uraian tersebut di hadapan ayahnya.
Keesokan harinya
seluruh penghuni istana Yasa menjadi ribut, karena Yasa tidak ada di
kamarnya dan juga tidak diketemukan di bagian lain dari istananya.
Ayahnya memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencari ke segenap
penjuru dan ia sendiri pergi mencari ke Isipatana. Di taman rusa ia
melihat sandal anaknya. Tidak jauh dari tempat itu ia bertemu dengan
Sang Buddha dan bertanya apakah Sang Buddha melihat Yasa. Yasa
sebenarnya sedang duduk di sisi Sang Buddha, tetapi karena Sang Buddha
menggunakan kekuatan gaib maka Yasa tidak melihat ayahnya dan ayahnya
tidak melihat Yasa. Sebelum menjawab pertanyaan ayah Yasa, terlebih
dahulu Sang Buddha memberikan uraian tentang pentingnya berdana, hidup
bersusila, tumimbal lahir di sorga sebagai akibat dari perbuatan baik,
buruknya mengumbar nafsu-nafsu dan faedahnya melepaskan diri dari semua
ikatan duniawi. Kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang Empat
Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu
keinginan.
Setelah Sang
Buddha selesai memberikan uraian, ayah Yasa memperoleh Mata Dhamma dan
mohon untuk diterima sebagai pengikut dengan mengucapkan: “Aku
berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Semoga Sang Bhagava
menerima aku sebagai Upasaka mulai hari ini sampai akhir hidupku.”
Dengan demikan ayah dari Yasa menjadi upasaka pertama yang berlindung
kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. (Tapussa dan Bhallika adalah pengikut
Sang Buddha yang pertama, tetapi mereka berlindung hanya kepada Buddha
dan Dhamma, karena pada waktu itu belum ada Sangha (Pesamuan Para
Bhikkhu, yang sekurang-kurangnya terdiri dari lima orang bhikkhu). Yasa
yang untuk kedua kalinya mendengarkan uraian Sang Buddha mencapai
kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat.
Pada waktu itulah
Sang Buddha menarik kembali kekuatan gaibnya, sehingga Yasa dapat
melihat ayahnya dan ayahnya dapat melihat Yasa.
Ayah Yasa menegur
anaknya dan mendesak agar Yasa pulang kembali ke istananya dengan
mengatakan: “Yasa, ibumu sangat sedih. Ayolah pulang demi menyelamatkan
nyawa ibumu.”
Yasa menengok ke
arah Sang Buddha dan Sang Buddha menjawab: “Kepala keluarga yang baik,
beberapa waktu berselang Yasa memperoleh Mata Dhamma sebagaimana juga
Anda memperolehnya pada hari ini dan menjadi seorang Ariya yang masih
membutuhkan sesuatu yang lebih tinggi untuk mencapai Pembebasan
Sempurna. Hari ini Yasa berhasil menyingkirkan semua kekotoran batin dan
mencapai Pembebasan Sempurna. Cobalah pikir, apakah mungkin Yasa
kembali ke penghidupan biasa dan menikmati kesenangan nafsu-nafsu
indriya?”
“Aku rasa memang
tidak mungkin. Hal ini sudah menjadi rezekinya. Tetapi, bolehkah saya
mengundang Sang Bhagava supaya besok siang berkenan mengambil dana
(makanan) di rumahku disertai anakku sebagai bhikkhuni pengiring?”
Sang Buddha
menerima undangan ini dengan membisu (berdiam diri). Mengetahui
permohonannya diterima, ayah Yasa berdiri, memberi hormat dan berjalan
memutar dengan Sang Buddha tetap di sisi kanannya dan kembali pulang ke
istananya.
Setelah ayahnya
pulang, Yasa mohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi Bhikkhu.
Sang Buddha menahbiskannya dengan menggunakan kalimat yang juga
digunakan untuk mentahbiskan lima murid-Nya yang pertama, yaitu : “Ehi
bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakanlah penghidupan
suci.” Perbedaannya, bahwa Sang Buddha tidak mengucapkan”dan
singkirkanlah penderitaan”, karena Yasa pada waktu itu sudah mencapai
tingkat Arahat. Dengan demikian, pada waktu itu sudah ada tujuh orang
Arahat (Sang Buddha sendiri juga seorang Arahat, tetapi seorang Arahat
istimewa, karena mencapai Kebebasan dengan daya upaya sendiri).
Keesokan harinya
dengan diiringi Yasa, Sang Buddha pergi ke istana ayah Yasa dan duduk di
tempat yang telah disediakan. Ibu dan istri Yasa keluar dan memberi
hormat. Sang Buddha kembali memberikan uraian tentang Anupubbikatha dan
mereka berdua pun memperoleh Mata Dhamma. Mereka memuji kebagusan
uraian tersebut dan mohon dapat diterima sebagai Upasika dengan
berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha untuk seumur hidup.
Mereka adalah pengikut-pengikut wanita pertama yang berlindung kepada Tiga Mustika (Buddha, Dhamma dan Sangha).
Setelah itu makan
siang disiapkan dan kedua wanita itu melayani sendiri Sang Buddha dan
Yasa dengan hidangan yang lezat-lezat. Sehabis makan Sang Buddha dan
Yasa kembali ke taman rusa Isipatana.
Di Benares Yasa
mempunyai empat orang sahabat, semuanya anak-anak orang kaya, yang
bernama Vimala, Subahu, Punnaji, dan Gavampati. Mereka mendengar bahwa
Yasa sekarang sudah menjadi bhikkhu. Mereka menganggap bahwa Ajaran yang
benar-benar sempurnalah yang dapat menggerakkan hati Yasa untuk
meninggalkan penghidupannya yang mewah.
Karena itu mereka
menemui bhikkhu Yasa dan kemudian membawa keempat kawannya itu
menghadap Sang Buddha. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, mereka
semua memperoleh Mata Dhamma dan kemudian diterima menjadi Bhikkhu.
Setelah mendapat
penjelasan tambahan keempat orang ini dalam waktu singkat mencapai
tingkat Arahat. Dengan demikian jumlah Arahat pada waktu itu sebelas
orang.
Tetapi bhikkhu
Yasa mempunyai banyak teman lagi yang berada di tempat-tempat jauh,
semuanya berjumlah lima puluh orang. Mendengar sahabat mereka menjadi
bhikkhu, mereka pun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak bhikkhu
Yasa. Mereka semua diterima menjadi bhikkhu dan dalam waktu singkat
semuanya mencapai tingkat Arahat, sehingga pada waktu itu terdapat enam
puluh satu orang Arahat.

Setelah
tiba di Benares, kelima orang pertapa melihat Sang Buddha sedang
memasuki taman rusa. Seorang dari lima pertapa itu mengatakan :
“Kawan-kawan,
lihat pertapa Gotama sedang memasuki taman; ia adalah orang yang senang
dengan kenikmatan dunia. Ia tergelincir dari penghidupan suci dan
kembali ke penghidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Sebaiknya
kita tidak usah menyapanya. Lagipula kita jangan memberi hormat
kepadanya. Kita sebaiknya juga jangan menawarkan diri untuk menyambut
mangkuk dan jubahnya. Kita hanya menyediakan tikar untuk tempat
duduknya. Ia boleh menggunakannya kalau mau dan kalau tidak mau ia boleh
berdiri saja. Siapakah yang mau mengurus seorang pertapa yang telah
gagal!”
Waktu Sang
Buddha datang lebih dekat, mereka melihat bahwa ada sesuatu yang berubah
dan Sang Buddha tidak sama dengan pertapa Gotama yang dulu mereka
kenal. Ia sekarang kelihatannya lebih mulia dan agung yang belum pernah
mereka lihat sebelumnya. Meskipun mereka semula sudah sepakat untuk
tidak menghormat kepada Sang Buddha, namun sewaktu Sang Buddha mendekat,
mereka seolah-olah lupa kepada apa yang mereka sepakati.
Seorang
di antara mereka maju ke depan dan dengan hormat menyambut mangkuk dan
jubah-Nya, sedangkan yang lain sibuk menyiapkan tempat duduk dan yang
lain lagi bergegas-gegas mengambil air untuk membasuh kaki Sang Buddha.
Setelah mengambil tampat duduk Sang Buddha lalu berkata :
“Dengarlah,
O pertapa. Aku telah menemukan jalan yang menuju ke keadaan terbebas
dari kematian. Akan kuberitahukan kepadamu. Akan kuajarkan kepadamu.
Kalau engkau ingin mendengar, belajar dan melatih diri seperti yang akan
kuajarkan, dalam waktu singkat engkau pun dapat mengerti, bukan nanti
di kelak kemudian hari, tetapi sekarang juga dalam penghidupan ini,
bahwa apa yang kukatakan itu adalah benar. Engkau dapat menyelami
sendiri keadaan itu yang berada di atas hidup dan mati.”
Tentu
saja kelima pertapa merasa heran sekali mendengar ucapan Sang Buddha,
sebab mereka melihat sendiri Beliau berhenti berpuasa; mereka melihat
sendiri Beliau menghentikan semua usaha untuk menemukan Penerangan
Agung, dan sekarang Beliau datang kepada mereka untuk memberitahukan,
bahwa Beliau telah menemukan Penerangan Agung itu. Karena itu mereka
tidak percaya akan apa yang Sang Buddha katakan.
Mereka menjawab:
“Sahabat
(avuso) Gotama, sewaktu kami masih berdiam bersama-sama Anda, Anda
telah berlatih dan menyiksa diri Anda seperti yang belum pernah
dilakukan oleh siapa pun juga di seluruh Jambudipa. Karena itulah kami
menganggap Anda sebagai pemimpin dan guru kami. Tetapi dengan segala
cara penyiksaan diri itu ternyata Anda tidak berhasil menemukan apa yang
Anda cari, yaitu Penerangan Agung. Setelah sekarang Anda kembali ke
penghidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan dan berhenti berusaha
dan melatih diri, mana mungkin Anda sekarang telah menemukannya?”
“Kamu
keliru, pertapa. Aku tidak pernah berhenti berusaha. Aku tidak kembali
ke penghidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Dengarlah apa yang
kukatakan. Aku sesungguhnya telah memperoleh Kebijaksanaan yang
Tertinggi. Dan dapat mengajar kamu untuk juga memperoleh Kebijaksanaan
tersebut untuk dirimu sendiri.”
Setelah
kelima pertapa bersedia mendengarkan khotbah-Nya, maka Sang Buddha
memberikan khotbah-Nya yang pertama yang kelak dikenal sebagai “Dhammacakkappavattana Sutta” (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma). Khotbah pertama diucapkan oleh Sang Buddha tepat pada saat Purnamasidi di bulan Asalha.
Setelah
Sang Buddha selesai berkhotbah, Kondanna memperoleh Mata Dhamma karena
dapat mengerti (anna) dengan jelas makna khotbah tersebut dan menjadi
seorang Sotapanna (makhluk suci tingkat kesatu).
Anna
Kondanna yang sekarang tidak meragu-ragukan lagi ajaran Sang Buddha
mohon untuk dapat diterima sebagai murid. Sang Buddha meluluskan
permohonan ini dan mentahbiskannya dengan kata-kata, “Mari (ehi)
bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakan kehidupan suci
dan singkirkanlah penderitaan.”
Dengan demikian Anna Kondana menjadi bhikkhu pertama yang ditahbiskan dengan ucapan “ehi bhikkhu”.
Sejak
hari itu Sang Buddha tinggal di Taman Rusa dan tiap hari Beliau
memberikan uraian Dhamma kepada lima orang pertapa tersebut.
Dua
hari setelah itu, pertapa Vappa dan Bhaddiya memperoleh Mata Dhamma dan
kemudian ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi
bhikkhu”.
Dan dua hari
kemudian, pertapa Mahanama dan Assaji memperoleh Mata Dhamma dan
ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu”.
Lima hari setelah memberikan khotbah pertama, Sang Buddha memberikan khotbah kedua dengan judul “Anattalakkhana Sutta”.
“Oh, Bhikkhu, bagaimana pendapatmu, apakah Khandha itu kekal atau tidak kekal?”
“Mereka tidak kekal, Bhante.”
“Di dalam sesuatu yang tidak kekal, apakah terdapat kebahagiaan atau penderitaan?”
“Di sana terdapat penderitaan, Bhante.”
“Mengenai sesuatu yang tidak kekal dan penderitaan, ditakdirkan untuk musnah, apakah tepat kalau dikatakan bahwa itu adalah ‘milikku,’ ‘aku’ dan ‘diriku’?”
“Tidak tepat, Bhante.”
Sewaktu kelima bhikkhu tersebut merenungkan khotbah Sang Buddha, mereka semua dapat membersihkan diri mereka dari segala kekotoran batin (Asava) dan terbebas seluruhnya dari Kemelekatan (Upadana) dan mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat.
Tujuh Minggu Setelah Penerangan Agung

Selama minggu
kedua Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari pohon Bodhi dan
memandangnya terus-menerus dengan mata tidak berkedip selama satu minggu
sebagai cetusan terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah
memberi-Nya tempat untuk berteduh sewaktu bergulat untuk mencapai
tingkat Buddha. Mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Sang Buddha
dahulu, sekarang pun umat Buddha memberi penghormatan kepada pohon
Bodhi.
Selama minggu
ketiga Sang Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas yang
dicipta-Nya di udara, karena melalui mata dewa-Nya Sang Buddha
mengetahui, bahwa dewa-dewa di sorga masih meragukan apakah Beliau benar
telah mencapai Penerangan Agung.
Selama minggu
keempat Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan-Nya.
Di kamar permata itulah Sang Buddha bermeditasi mengenai Abhidhamma,
yaitu ajaran mengenai ilmu jiwa dan metafisika. Batin dan badan
jasmani-Nya telah menjadi demikian bersih, sehingga mengeluarkan
sinar-sinar berwarna biru, kuning, merah, putih dan jingga dan campuran
kelima warna tersebut. Kini warna-warna tersebut diabadikan sebagai
bendera umat Buddha.
Selama minggu kelima Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Ajapala Nigrodha (pohon beringin), tidak jauh dari pohon Bodhi.
Di sinilah tiga
orang anak Mara, yaitu : Tanha, Arati dan Raga masih berusaha untuk
mengganggunya. Mereka menampakkan diri sebagai tiga orang gadis yang
elok dan menggiurkan yang dengan berbagai macam tarian yang erotis
(penuh nafsu birahi), diiringi nyanyian yang merdu dan bisikan yang
memabukkan, berusaha untuk merayu dan menarik perhatian Sang Buddha.
Tetapi Sang Buddha menutup mata-Nya dan tidak mau melihat, sehingga
akhirnya tiga orang dewi hawa nafsu itu meninggalkan Sang Buddha.
Selama minggu
keenam Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Mucalinda. Karena waktu
itu turun hujan lebat, maka datanglah seekor ular kobra yang besar
sekali dan melibatkan badannya tujuh kali memutari badan Sang Buddha dan
kepalanya memayungi Sang Buddha supaya jangan sampai terkena air hujan.
Waktu hujan berhenti, ular itu berubah bentuknya menjadi seorang anak
muda.

Pada waktu itulah Sang Buddha mengucapkan kata-kata sebagai berikut:
“Berbahagialah
mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang dapat mendengar
dan melihat kesunyataan. Berbahagialah mereka yang bersimpati kepada
makhluk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah yang hidup di dunia
dengan tidak melekat kepada apa pun dan mengatasi hawa nafsu. Lenyapnya
“Sang Aku” merupakan berkah yang tertinggi.”
Selama minggu
ketujuh Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Rajayatana. Pada hari
ke-50 pagi hari, setelah berpuasa selama tujuh minggu, dua orang
pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha sedang duduk. Mereka, Tapussa
dan Bhallika, menghampiri Sang Buddha dan mempersembahkan makanan dari
beras dan madu. Sang Buddha agak tertegun sejenak, karena mangkuk yang
Beliau terima dari Sujata telah dihanyutkan di sungai Neranjara dan
sejak jaman dahulu tidak pernah seorang Buddha menerima makanan dengan
kedua tangan-Nya. Tiba-tiba empat orang dewa dari empat penjuru alam
(Catumaharaja yaitu Dhatarattha dari sebelah Timur, Virulhaka dari
Selatan, Virupakkha dari Barat dan Kuvera dari Utara) datang menolong
dengan membawa seorang satu mangkuk yang dipersembahkan kepada Sang
Buddha. Sang Buddha menerima empat mangkuk tersebut dan dengan kekuatan
gaib-Nya dijadikan satu mangkuk.
Sang Buddha
dengan demikian dapat menerima persembahan dari Tapussa dan Bhallika.
Selesai Sang Buddha makan, maka kedua pedagang itu mohon diterima
sebagai pengikut.
Mereka diterima
sebagai upasaka-upasaka pertama yang berlindung kepada Sang Buddha dan
Dharma. Kemudian mereka mohon diberikan suatu benda yang mereka dapat
bawa pulang. Sang Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan dan
memberikan beberapa lembar rambut (Kesa Dhatu = Relik Rambut). Tapussa
dan Bhallika dengan gembira menerima Kesa Dhatu tersebut dan setelah
tiba di tempat mereka tinggal, mereka mendirikan sebuah pagoda untuk
memuja Kesa Dhatu ini.
Setelah makan
Tapussa dan Bhallika melanjutkan perjalanannya. Sang Buddha merenung
apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai
atau tidak.
Sebab Dhamma itu
dalam sekali dan sulit untuk dimengerti, sehingga menimbulkan perasaan
enggan dalam diri Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma.
Tiba-tiba Brahma
Sahampati, Penguasa dunia ini, turun dari Brahmaloka dan berdiri di
hadapan Sang Buddha. Setelah memberi hormat yang layak, Brahma Sahampati
berkata kepada Sang Buddha :
“Semoga Sang
Tathagata, demi belas kasihan kepada para manusia, berkenan mengajarkan
Dhamma. Dalam dunia ini terdapat juga orang-orang yang sedikit
dihinggapi kekotoran batin dan mudah dapat mengerti Dhamma yang akan
diajarkan.”
Hingga kini
permohonan Brahma Sahampati kepada Sang Buddha tetap diperingati dengan
permohonan kepada seorang Bhikkhu untuk mengajar Dhamma yang berbunyi
sebagai berikut :
“Brahma ca lokadhipati Sahampati
Katanjali adhivarang ayacatha
Santidha sattapparajakka jatika
Desetu Dhammang anukampimang pajang.”
Katanjali adhivarang ayacatha
Santidha sattapparajakka jatika
Desetu Dhammang anukampimang pajang.”
Artinya :
“Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini
Merangkap kedua tangannya dan memohon,
Ada makhluk-makhluk yang dihinggapi sedikit kekotoran batin
Demi belas kasihan kepada mereka, ajarkanlah mereka Dhamma.”
Dengan mata dewa
Sang Buddha dapat mengetahui bahwa memang ada orang-orang yang tidak
lagi terlalu terikat kepada hal-hal duniawi dan mudah mengerti Dhamma.
Karena itu Sang
Buddha mengambil ketetapan hati untuk mengajar Dhamma demi belas
kasihan-Nya kepada umat manusia. Kesediaan-Nya itu diutarakan dengan
mengucapkan kata-kata sebagai berikut :
“Aparuta tesang amatassa dvara
Ye sotavanto pamuncan tu saddhang.”
Ye sotavanto pamuncan tu saddhang.”
Artinya :
“Terbukalah pintu Kehidupan Abadi
Bagi mereka yang mau mendengar dan mempunyai keyakinan.”
Perhatian-Nya
kemudian ditujukan kepada Alara Kalama, tetapi para dewa segera
memberitahukan, bahwa Alara seminggu yang lalu telah meninggal dunia.
Kemudian perhatian-Nya ditujukan kepada Uddaka Ramaputta, namun para
dewa juga mengatakan, bahwa kemarin malam Uddaka meninggal dunia.
Selanjutnya Sang Buddha mengalihkan perhatian-Nya kepada lima orang
pertapa yang pernah bersama-sama melakukan pertapaan. Kelima orang itu
sekarang berada di taman rusa di kota Benares, ibukota negara Kasi.
Sang Buddha
segera berangkat menuju ke taman rusa di Benares. Dalam perjalanan ke
Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka bernama Upaka.
Terpesona melihat Sang Buddha yang wajahnya demikian cemerlang, Upaka
bertanya siapakah guru Sang Buddha. Sang Buddha menjawab bahwa Beliau
adalah Orang Yang Maha Tahu dan tidak mempunyai guru siapa pun juga.
Tetapi Upaka nampaknya sama sekali tidak terkesan. Ia menggelengkan
kepala dan kemudian meneruskan perjalanannya, sedangkan Sang Buddha
sendiri juga melanjutkan perjalanan-Nya ke Benares.
Penerangan Agung

“Dengan
disaksikan oleh bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku
akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun
dari tempat ini sebelum memperoleh Penerangan Agung dan mencapai
Nibbana.”
Kemudian
pertapa Gotama melakukan meditasi Anapanasati, yaitu meditasi dengan
menggunakan obyek keluar dan masuknya napas. Tidak seberapa lama
pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya, seperti keinginan
kepada benda-benda duniawi, tidak menyukai penghidupan suci yang bersih
dan baik, perasaan lapar dan haus yang luar biasa; keinginan yang sangat
dan melekat kepada benda-benda, malas dan tidak suka mengerjakan
apa-apa; takut kepada jin-jin, hantu-hantu jahat; keragu-raguan,
kebodohan, keras kepala, keserakahan; keinginan untuk dipuji dan
dihormati dan hanya melakukan hal-hal yang membuat dirinya terkenal;
tinggi hati dan memandang rendah kepada orang lain.
Perjuangan
hebat dalam batin pertapa Gotama melawan keinginan dan nafsu-nafsu
tidak baik, dalam buku-buku suci digambarkan sebagai perjuangan melawan
Dewa Mara yang jahat, seperti dapat diikuti dalam pembabaran di bawah
ini.
Pada saat itu
muncul Mara, dewa hawa nafsu, yang bermaksud menghalang-halangi pertapa
Gotama memperoleh Penerangan Agung, disertai bala tentaranya yang maha
besar. Bala tentara itu ke depan, ke kanan dan ke kiri lebarnya 12
league dan ke belakang sampai ke ujung cakrawala, sedangkan tingginya 9
league. Mara sendiri membawa berbagai macam senjata dan duduk di atas
gajah Girimekhala yang tingginya 150 league. Melihat bala tentara yang
demikian besar datang, semua dewa yang sedang berkumpul di sekeliling
pertapa Gotama, seperti Maha-Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala dan
lain-lain cepat-cepat menyingkir dari tempat itu dan pertapa Gotama
ditinggal sendirian dengan hanya berlindung kepada sepuluh Paramita yang
sejak lama dilatihnya. Semua usaha Mara untuk menakut-nakuti pertapa
Gotama dengan hujan besar disertai angin kencang dan halilintar yang
berbunyi tak henti-hentinya diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain
yang mengerikan ternyata gagal semua dan akhirnya Mara menyambit dengan
Cakkavudha yang ternyata berubah menjadi payung yang dengan tenang
bergantung dan melindungi kepala pertapa Gotama.
Bumi
telah menjadi saksi, bahwa pertapa Gotama lulus dari semua
percobaan-percobaan dan layak untuk menjadi Buddha. Gajah Girimekhala
berlutut di hadapan pertapa Gotama dan Mara menghilang dan lari
bersama-sama dengan bala tentaranya. Para dewa yang menyingkir sewaktu
Mara tiba dengan bala tentaranya datang kembali dan semua bersuka cita
dengan keberhasilan pertapa Gotama.
Setelah
berhasil mengalahkan Mara, pertapa Gotama memperoleh
Pubbernivasanussatinana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan
terang kelahiran-kelahirannya yang dulu. Hal ini terjadi pada waktu jaga
pertama, yaitu antara jam 18.00 – 22.00.
Pada
waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00 – 02.00, pertapa Gotama
memperoleh Cutupapatanaria, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat
dengan terang kematian dan tumimbal lahir kembali dari makhluk-makhluk
sesuai dengan tumpukan karma mereka masing-masing. Tumpukan karma yang
berlainan inilah yang membuat satu makhluk berbeda dengan makhluk lain.
Kemampuan ini juga dinamakan Dibbacakkunana, yaitu kebijaksanaan dari
Mata Dewa.
Pada waktu
jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00 – 04.00, pertapa Gotama memperoleh
Asavakkhayanana, yaitu kebijaksanaan yang dapat menyingkirkan secara
menyeluruh semua Asava (kekotoran batin yang halus sekali).
Dengan
demikian ia mengerti sebab dari semua keburukan dan juga mengerti cara
untuk menghilangkannya. Dengan ini ia telah menjadi orang yang paling
bijaksana dalam dunia yang dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan
kepadanya. Sekarang ia mendapat jawaban tentang cara untuk mengakhiri
penderitaan, kesedihan, ketidak-bahagiaan, usia tua dan kematian.
Batinnya menjadi tenang sekali dan penuh kedamaian, karena sekarang ia
mengerti semua persoalan hidup dan menjadi Buddha.
Dengan
muka bercahaya terang, penuh kebahagiaan, pertapa Gotama dengan suara
lantang mengeluarkan pekik kemenangan sebagai berikut :
“Anekajati samsarang
Sandhavissang anibbissang
Gohakarakang gavesanto
Dukkha jati punappunang.
Gahakaraka! dittho’si
Punagehang na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutang visamkhitang
Visamkharagatang cittang
Tanhanang khayamajjhaga.”
Sandhavissang anibbissang
Gohakarakang gavesanto
Dukkha jati punappunang.
Gahakaraka! dittho’si
Punagehang na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutang visamkhitang
Visamkharagatang cittang
Tanhanang khayamajjhaga.”
Artinya :
“Dengan sia-sia aku mencari Pembuat Rumah ini
Berlari berputar-putaran dalam lingkaran Tumimbal Lahir
Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habisnya
O, Pembuat Rumah, sekarang telah kuketahui
Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi
Semua atapmu telah kurobohkan
Semua sendi-sendimu telah kubongkar
Batinku sekarang mencapai keadaan Nibbana
Dan berakhirlah semua nafsu-nafsu keinginan.”
Di
kisahkan bahwa pada saat itu bumi tergetar karena gembira dan di udara
sayup-sayup terdengar suara musik yang merdu; seluruh tempat itu penuh
dengan kehadiran para dewa yang turut bergembira dan ingin melihat orang
yang berhasil mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha; pohon-pohon
mendadak berbunga dan menyebarkan bau harum ke seluruh penjuru;
binatang hutan yang biasanya saling bermusuhan pada waktu itu dapat
hidup berdampingan dengan damai.
Demikianlah
Pangeran Siddhattha yang dilahirkan pada saat purnama sidhi di bulan
Vaisak tahun 623 SM, menikah pada usia 16 tahun, meninggalkan istana
pada usia 29 tahun, setelah bertapa selama 6 tahun menjadi Buddha pada
usia 35 tahun.
Bertapa di hutan Uruvela
Dari tepi sungai Anoma, Pangeran
pergi ke kebun mangga di Anupiya. Setelah tujuh hari diam di Anupiya,
Pangeran pada suatu pagi berjalan ke arah Rajagaha untuk mulai dengan
meminta-minta makanan kepada penduduk. Kedatangan Pangeran di Rajagaha
ternyata mendapat perhatian dari seorang pembantu Raja Bimbisara yang
terus mengikutinya sampai di Pandavapabbata, tempat Pangeran
beristirahat untuk makan dari hasil perjalanan kelilingnya. Raja
Bimbisara dilaporkan tentang kedatangan seorang pertapa yang paras
mukanya kelihatan agung dan sekarang sedang beristirahat di
Pandavapabbata.
Raja
Bimbisara datang menemui pertapa Siddhattha dan kemudian menanyakan
nama, nama orang tuanya dan mengapa ia menjadi seorang pertapa.
“Mengapa
Anda melakukan hal ini? Apakah Anda berselisih paham dengan Ayah Anda?
Tinggal saja denganku di sini dan aku akan menghadiahkan Anda setengah
dari kerajaanku.”
“Terima
kasih banyak, Baginda. Aku sangat cinta kepada orangtuaku, istriku,
anakku, Anda sendiri dan kepada semua orang. Aku hendak mencari obat
untuk menghentikan usia tua, sakit dan mati. Karena itulah aku menjadi
seorang pertapa.”
“Kalau
tawaranku tidak diterima, yah, apa boleh buat. Tetapi harap Anda
berjanji untuk terlebih dahulu mengunjungi Rajagaha apabila kelak
berhasil menemukan obat tersebut.”
“Baiklah, Baginda, aku berjanji.”
Dari
Rajagaha pertapa Siddhattha meneruskan perjalanannya dan tiba di dekat
tempat pertapaan Alara-Kalama. Di tempat ini pertapa Siddhattha (juga
disebut pertapa Gotama) berguru kepada Alara-Kalama dan dalam waktu
singkat sudah dapat menyamai kepandaian gurunya.
Di tempat ini pertapa Gotama diajar cara-cara bermeditasi dan pengertian tentang Hukum Kamma dan Tumimbal Lahir.
Karena
merasa bahwa dengan pengetahuan ini masih belum terjawab tentang sebab
musabab dari kelahiran dan bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan
mati, maka pertapa Gotama melanjutkan perjalanannya untuk mencari orang
yang dapat mengajar tentang hal tersebut.
Pertapa Gotama kemudian berguru kepada Uddaka-Ramaputta yang pada zaman itu terkenal sebagai seorang pertapa yang paling pandai.
Dari
Uddaka-Ramaputta pertapa Gotama mendapat pelajaran tentang cara
bermeditasi yang paling tinggi sehingga mencapai keadaaan
“Bukan-Pencerapan” juga bukan “Bukan-Pencerapan”. Karena dalam waktu
singkat pertapa Gotama sudah memahami semua pelajaran Uddaka-Ramaputta,
maka gurunya minta agar ia terus berdiam di tempat tersebut untuk
bersama-sama membina murid-muridnya yang banyak sekali.
Tetapi
pertapa Gotama masih belum puas, sebab ia masih belum mendapat jawaban
tentang bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan mati.
Pertapa
Gotama kemudian pergi ke Senanigama di Uruvela dan di tempat inilah
pertapa Gotama bersama-sama dengan 5 orang pertapa lain (Bhaddiya,
Vappa, Mahanama, Assaji dan Kondanna) berlatih dalam berbagai cara
penyiksaan diri. Mereka melatih diri dengan menjemur diri di terik
matahari pada siang hari dan pada waktu tengah malam berendam di sungai
untuk waktu yang lama. Karena masih saja belum berhasil maka pertapa
Gotama lalu malakukan latihan yang lebih berat lagi.
Ia
merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langit mulutnya
sehingga keringat mengucur ke luar dari ketiak-ketiaknya. Demikian hebat
sakit yang dideritanya sehingga dapat diumpamakan sebagai orang kuat
yang gagah perkasa memegang seorang yang lemah di kepala atau lehernya
dan menekan dengan sekuat tenaga.
Dengan
sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya ia berusaha agar
batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet
dalam usahanya.
Setelah
berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke
Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain. Ia kemudian
sedikit demi sedikit menahan napasnya sampai napasnya tidak lagi ke luar
melalui hidung atau mulut, tetapi dengan mengeluarkan suara mendesis
yang mengerikan keluar melalui lubang telinga. Kemudian timbul sakit
yang hebat di kepala dan di perut disusul dengan panas yang menjalar ke
seluruh tubuh.
Dengan
sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya, ia berusaha agar
batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet
dalam usahanya.
Setelah
berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke
Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain.
Selanjutnya
ia berpuasa dan tidak makan apa-apa sampai berhari-hari atau mengurangi
makannya sedikit demi sedikit sampai makan hanya beberapa butir nasi
satu hari. Tentu saja kesehatannya memburuk dan badannya kurus sekali.
Kalau perutnya ditekan maka tulang punggungnya dapat dipegang dan kalau
punggungnya ditekan maka perutnya dapat dipegang. Ia merupakan tengkorak
hidup dengan tulang-tulang dilapisi kulit dan dagingnya sudah tidak ada
lagi. Warna kulitnya berubah menjadi hitam dan rambutnya banyak yang
rontok. Kalau berdiri tidak bisa diam karena kakinya gemetaran.
Seperti
cara-cara yang terdahulu, ia kemudian melihat, bahwa cara ini tidak
membawanya ke Penerangan Agung. Secara tiba-tiba timbul dalam batinnya
tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah terpikir.
Pertama :
“Kalau
sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa
sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan
menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin
mendapatkan hawa panas.” Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari
menggosok kedua kayu itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan
kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang masih terikat
kepada kesenangan nafsu-nafsu indriya dan batinnya masih ingin
menikmatinya pasti tak akan berhasil.”
Kedua :
“Kalau
sekiranya sepotong kayu basah diletakkan di tanah yang kering dan
seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat
api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku
ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini tidak mungkin dapat membuat
api dari menggosok kedua kayu itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan
dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat
lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indriya tetapi batinnya masih ingin
menikmatinya pasti tak akan berhasil.”
Ketiga :
“Kalau
sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan
seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat
api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku
ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini pasti dapat membuat api dari
menggosok kedua kayu kering itu. Begitu pula para pertapa dan Brahmana
yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indriya tetapi
batinnya juga tidak terikat lagi, maka pertapa dan Brahmana itu berada
dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung.”
Setelah
merenungkan tiga perumpamaan tersebut, maka pertapa Gotama mengambil
keputusan untuk berhenti berpuasa. Sehabis mandi di sungai dan ingin
kembali ke gubuknya, pertapa Gotama terjatuh dan pingsan di tepi sungai.
Waktu siuman ia sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Untung pada waktu
itu lewat seorang anak penggembala kambing bernama Nanda yang melihatnya
sedang tergeletak kehabisan tenaga di tepi sungai. Dengan cepat ia
memberikan pertapa itu air susu kambing sehingga dengan perlahan-lahan
tenaga pertapa Gotama pulih kembali dan ia dapat melanjutkan
perjalanannya ke gubuk tempat ia bertapa. Sejak hari itu pertapa Gotama
diberi makan air tajin untuk mengembalikan kekuatan dan kesehatannya dan
tidak lama kemudian pertapa Gotama sudah dapat makan juga makanan lain,
sehingga dengan demikian kesehatannya pulih kembali.
Namun
lima orang kawannya yang bersama-sama bertapa merasa kecewa sekali,
karena dengan berhenti berpuasa pertapa Gotama dianggap telah gagal
dalam pertapaannya dan tidak mungkin akan memperoleh Penerangan Agung.
Mereka meninggalkannya dan pergi ke taman rusa di Benares.
Pada
suatu hari serombongan penari ronggeng lewat dekat gubuk pertapa
Gotama. Sambil berjalan mereka bergurau dan bergembira dan seorang di
antaranya bernyanyi dengan syair sebagai berikut :
“Kalau
tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau
ditarik terlalu kendor, ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak
boleh terlalu rendah atau keras. Orang yang memainkannyalah yang harus
pandai menimbang dan mengira.”
Mendengar
nyanyian itu pertapa Gotama mengangkat kepalanya dan memandang dengan
heran kepada rombongan penari ronggeng tersebut. Dalam hatinya ia
berkata :
“Sungguh aneh
keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) mesti
menerima pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah
menarik demikian keras tali penghidupan, sehingga hampir-hampir saja
putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras
atau terlalu kendor.”
Di
dekat tempat itu tinggal pula seorang wanita muda kaya raya bernama
Sujata. Sujata ingin membayar kaul kepada dewa pohon karena
permohonannya supaya diberi seorang anak laki-laki terkabul. Hari itu
Sujata mengirim pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah
pohon di mana ia ingin mempersembahkan makanan yang lezat-lezat kepada
dewa pohon. Ia agak terkejut waktu pelayannya dengan tergesa-gesa
kembali dan memberitahukan : “Oh, nyonya, dewa pohon itu sendiri telah
datang dari kayangan untuk menerima langsung persembahan nyonya. Beliau
sekarang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Alangkah beruntungnya
bahwa dewa pohon berkenan untuk menerima sendiri persembahan nyonya.”
Sujata
gembira sekali mendengar berita tersebut. Setelah makanan selesai
dimasak, berangkatlah Sujata ke hutan. Sujata merasa kagum melihat dewa
pohon dengan wajah yang agung sedang bermeditasi. Ia tidak tahu, bahwa
orang yang dikira sebagai dewa pohon sebenarnya adalah pertapa Gotama.
Dengan hati-hati makanan ditempatkan ke dalam mangkuk dan dengan hormat
dipersembahkan kepada pertapa Gotama yang dikira Sujata adalah dewa
pohon.
Pertapa Gotama
menyambut persembahan ini. Setelah habis makan terjadilah percakapan
antara pertapa Gotama dan Sujata seperti di bawah ini :
“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?”
“Tuanku
yang terpuja, makanan yang telah aku persembahkan kepada Tuanku adalah
cetusan terima kasihku karena Tuanku telah meluluskan permohonanku agar
dapat diberi seorang anak laki-laki.”
Kemudian pertapa Gotama menyingkap kain yang menutup kepala bayi dan meletakkan tangannya di dahinya sambil memberi berkah :
“Semoga
berkah dan keberuntungan selalu menjadi milikmu. Semoga beban hidup
akan engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi
seorang putra raja yang telah enam tahun
menjadi pertapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk
memberi penerangan kepada manusia yang berada dalam kegelapan. Aku yakin
dalam waktu dekat ini aku akan berhasil memperoleh sinar terang
tersebut. Dalam hal ini persembahan makananmu telah banyak membantu,
karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itu
dengan persembahanmu ini engkau akan mendapat berkah yang sangat besar.
Tetapi, adikku yang baik, coba katakan, apakah engkau sekarang bahagia
dan apakah penghidupan yang disertai cinta saja sudah memuaskan?”
“Tuanku
yang terpuja, karena aku tidak menuntut banyak maka hatiku dengan mudah
mandapat kepuasan. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi
mangkuk bunga Lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi
basah. Aku sudah merasa bahagia dapat memandang wajah suamiku yang sabar
atau melihat senyum bayi ini. Setiap hari dengan senang hati aku
mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak, memberi sajen kepada para
dewata, menyambut suamiku yang pulang dari pekerjaan; apalagi sekarang
dengan dilahirkannya seorang anak laki-laki yang menurut buku-buku suci
akan membawa berkah kalau kelak kami meninggal dunia. Juga aku tahu
bahwa kebaikan datang dari perbuatan baik dan kemalangan datang dari
perbuatan jahat yang berlaku bagi semua orang dan pada setiap waktu,
sebab buah yang manis muncul dari pohon yang baik dan buah yang pahit
keluar dari pohon yang penuh racun. Apakah yang harus ditakuti oleh
orang yang berkelakuan baik kalau nanti tiba saatnya mesti mati?”
“Kau
sudah mengajar kepada orang yang seharusnya menjadi gurumu, dalam
penjelasanmu yang sederhana itu terdapat sari dari kebajikan yang lebih
nyata dari kebajikan yang tinggi, meskipun engkau tidak belajar apa-apa
namun engkau tahu jalan kebenaran dan menyebar keharumanmu ke semua
pelosok. Sebagaiman engkau sudah mendapat kepuasan, semoga aku pun akan
mendapatkan apa yang aku cari. Aku, yang engkau pandang sebagai seorang
dewa, minta didoakan supaya aku dapat berhasil melaksanakan
cita-citaku.”
Pertapa
Gotama kemudian melanjutkan perjalanannya dengan membawa mangkuk kosong.
Ia menuju ke tepi sungai Neranjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di
tepi sungai pertapa Gotama melempar mangkuknya ke tengah sungai dengan
berkata :
“Kalau memang waktunya sudah tiba mangkuk ini akan mengalir
melawan arus dan bukan mengikuti arus.” Satu keajaiban terjadi karena
mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.”
Subscribe to:
Posts (Atom)