Pada
suatu hari Pangeran mengunjungi ayahnya dan berkata: “Ayah,
perkenankanlah aku berjalan-jalan ke luar istana untuk melihat tata cara
kehidupan penduduk yang kelak akan kuperintah.”
Kerena
permohonan ini wajar, maka Raja memberikan izin. “Baik, anakku, engkau
boleh keluar dari istana untuk melihat bagaimana penduduk hidup di kota.
Tetapi sebelumnya aku harus membuat persiapan sehingga segala
sesuatunya baik dan patut untuk menerima kedatangan anakku yang baik.”
Setelah rakyat selesai menghias kota seperti diperintahkan oleh Raja maka Raja memanggil Pangeran untuk menghadap.
“Anakku, sekarang engkau boleh pergi melihat-lihat kota sepuas hatimu.”
Sewaktu
Pangeran sedang berjalan-jalan di kota dengan tiba-tiba seorang tua
keluar dari sebuah gubuk kecil. Rambut orang itu panjang dan sudah putih
semua, kulit mukanya kering dan penuh keriput, matanya sudah hampir
buta, pakaiannya compang-camping dan kotor sekali. Giginya sudah ompong,
badannya kurus kering dan dengan susah payah serta terbungkuk-bungkuk
ditopang oleh sebuah tongkat berjalan tanpa menghiraukan orang-orang di
sekelilingnya yang sedang bergembira. Dengan suara lemah dan perlahan
sekali ia minta-minta makanan dan mangatakan kalau tidak diberi makanan
ia pasti akan mati hari itu juga karena ia lapar sekali dan sudah
beberapa hari tidak makan.
Melihat orang tua itu, Pangeran terkesan sekali, karena hal seperti itu baru pertama kali dilihatnya.
“Apakah
itu, Channa? Itu tidak mungkin seorang manusia. Mengapa ia bungkuk
sekali? Mengapa ia gemetar sewaktu berjalan? Mengapa rambutnya putih dan
bukan hitam seperti rambutku? Apa salahnya dengan matanya? Dan giginya
dikemanakan? Apakah ada orang yang terlahir seperti itu? Coba katakan, O
Channa yang baik. Apakah artinya semua ini?”
Channa menerangkan kepada Pangeran, bahwa itulah keadaan seorang tua, tetapi bukan keadaannya sewaktu ia dilahirkan.
“Sewaktu
masih muda orang itu seperti kita dan karena sekarang ia sudah tua
sekali maka keadaannya telah berubah seperti yang Tuanku lihat.
Sebaiknya Tuanku melupakan saja orang tua tersebut. Setiap orang kalau
sudah terlalu lama hidup di dunia akan menjadi seperti orang itu. Hal
itu tidak dapat dielakkan.”
Tetapi
Pangeran tidak puas dengan jawaban Channa. Pangeran memerintahkan untuk
segera kembali ke istana, karena pemandangan orang tua yang baru saja
ia lihat telah membuatnya sedih sekali ia ingin merenungkan persoalan
ini dengan lebih mendalam. Mengapa sebagai seorang Pangeran dan juga
orang-orang lain pada suatu hari harus menjadi tua, lemah, dan sedih dan
tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya, meskipun ia kaya,
terpandang atau berkuasa.
Malam
itu diselenggarakan sebuah pesta besar untuk menghibur Pangeran. Tetapi
Pangeran acuh tak acuh saja dan tidak kelihatan gembira sewaktu
berlangsungnya pesta makan dan tari-tarian. Ia sedang sibuk merenung dan
dalam hati berkata kepada mereka yang hadir, “Pada suatu hari engkau
semua akan menjadi tua, tanpa ada yang terkecuali dan begitu pula engkau
yang tercantik.”
Setelah
pesta usai dan Pangeran masuk ke kamar tidur, pikiran itu masih tetap
saja mengganggunya. Di tempat tidur ia masih merenung bahwa suatu hari
semua orang akan menjadi tua, rambutnnya putih, kulitnya keriput, ompong
dan buruk seperti tukang minta-minta yang baru saja ia lihat. Ia ingin
tahu apakah ada orang yang telah menemukan cara untuk menghentikan hal
yang menyeramkan itu, yaitu usia tua.
Setelah
persoalan ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi sedih sekali
dan ia merasa kuatir bahwa hal ini dapat menyebabkan Pangeran
meninggalkan istana. Karena itu Raja memerintahkan kepada
dayang-dayangnya untuk lebih sering mengadakan pesta-pesta makan dan
tari-tarian.
Berselang
beberapa hari Pangeran kembali mohon kepada Raja agar diperkenankan
melihat-lihat lagi kota Kapilavatthu, tetapi sekarang tanpa terlebih
dahulu memberitahukannya kepada para penduduk.
Dengan
berat hati Raja memberikan izinnya karena Beliau tahu tidak ada gunanya
untuk melarang, sebab hal itu tentu akan membuat Pangeran sangat sedih.
Pada
kesempatan ini Pangeran pergi bersama-sama Channa dan berpakaian
seperti anak keluarga bangsawan, karena ia tidak ingin dikenal sewaktu
sedang berjalan-jalan.
Hari
itu pemandangan kota berlainan sekali. Tidak ada penduduk berkumpul
untuk mengelu-elukannya, tidak ada bendera-bendera, tunggul-tunggul,
bunga-bunga dan penduduk yang berpakaian rapi. Tetapi hari itu Pangeran
dapat melihat penduduk yang sedang sibuk bekerja.
Seorang
pandai besi dengan badan penuh keringat sedang membuat pisau. Seorang
pandai emas sedang membuat kalung, gelang, kerabu dan cincin dari intan,
emas dan perak.
Seorang
tukang celup pakaian sedang mencelup pakaian dalam beraneka ragam warna
yang bagus-bagus dan kemudian menjemurnya. Tukang kue sedang sibuk
memanggang roti dan kue dan menjualnya kepada langganannya yang kemudian
dimakan selagi masih panas.
Pangeran
memperhatikan orang-orang kecil ini yang sederhana dan semua orang
kelihatannya sibuk sekali, bahagia dan senang dengan pekerjaannya.
Tetapi pangeran juga melihat seorang yang sedang merintih-rintih dan
bergulingan di tanah dengan kedua tangannya memegang perutnya. Di muka
dan badannya terdapat bercak-bercak berwarna ungu, matanya
berputar-putar dan napasnya mengap-mengap.
Untuk
kedua kalinya dalam hidupnya Pangeran melihat sesuatu yang membuat
Beliau sangat sedih. Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh
kasih sayang dengan cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya,
meletakkan kepalanya di pangkuannya dan dengan suara menghibur
menanyakan: “Mengapa engkau, engkau mengapakah?” Orang sakit itu sudah
tidak dapat menjawab. Ia hanya menangis tersedu-sedu.
“Channa, katakanlah, mengapakah orang ini?” Apakah yang salah dengan napasnya? Mengapa ia tidak bicara?”
“O,
Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dan darahnya
beracun. Ia diserang demam pes dan seluruh badannya terasa terbakar.
Oleh karena itulah ia merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara.”
“Tetapi, apakah ada orang lain yang seperti dia?”
“Ada,
dan Tuanku mungkin orangnya kalau Tuanku memegangnya seperti ini. Mohon
dengan sangat agar Tuanku meletakkannya kembali di tanah dan jangan
menyentuhnya lagi sebab sakit pes itu sangat menular. Nanti Tuanku juga
akan sakit.”
“Channa, masih banyakkah hal-hal buruk seperti ini selain sakit pes?”
“Memang, Tuanku, ada ratusan penyakit yang sama hebatnya seperti sakit pes.”
“Apakah
tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang dapat
diserang penyakit? Apakah sakit datang secara mendadak?”
“Betul,
Tuanku, semua orang dalam dunia dapat terserang penyakit. Tidak ada
orang yang dapat mencegahnya dan itu dapat terjadi setiap saat.”
Mendengar
ini Pangeran menjadi semakin sedih dan kembali ke istana untuk
merenungkan hal ini. Raja merasa sedih karena melihat Pangeran pada
waktu terakhir ini seperti kurang gembira berhubung dengan
kejadian-kejadian yang telah dilihatnya.
Berselang beberapa hari, Pangeran kembali mohon kepada Raja agar diperkenankan lagi melihat-lihat kota Kapilavatthu.
Raja menyetujuinya karena beranggapan tidak ada gunanya lagi sekarang untuk melarang.
Pada
kesempatan ini Pangeran yang berpakaian sebagai anak seorang bangsawan
dengan diiringi Channa berjalan-jalan di kota Kapilavatthu. Tidak lama
kemudian mereka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang menangis
mengikuti sebuah usungan yang dipikul oleh empat orang.
Di
atas usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam
keadaan tidak bergerak. Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi
sebuah sungai dan meletakkannya di atas tumpukan kayu yang kemudian
dinyalakannya.
Orang itu tetap diam saja dan tidak bergerak meskipun api telah membakarnya dari semua sudut.
“Channa, apakah itu? Mengapa orang itu berbaring di sana dan membiarkan orang lain membakar dirinya?”
“Dia tidak tahu apa-apa lagi, Tuanku. Orang itu sudah mati.”
“Mati! Channa, apakah ini yang dinamakan mati? Dan apakah semua orang pada suatu waktu akan mati?”
“Betul, Tuanku, semua makhluk hidup pada suatu waktu harus mati. Tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya.”
Pangeran
heran dan kaget sekali sehingga tidak dapat mengucapkan sepatah kata
pun. Pangeran berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut
“mati” itu yang harus dialami oleh setiap orang, meskipun ia seorang
Raja atau anak dari seorang Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk
menghentikannya? Pangeran pulang dan di kamarnya ia merenungkan
persoalan ini sepanjang hari.
“Semua
orang di dunia ini pada suatu waktu harus mati; belum ada orang yang
tahu bagaimana cara untuk menghentikannya. Tetapi aku rasa pasti ada
cara untuk menghentikannya. Aku harus mencarinya dan menolong dunia
ini.”
Sewaktu Pangeran
mengunjungi Kapilavatthu untuk keempat kalinya, di sebuah taman
Pangeran berhenti dan duduk beristirahat di bawah pohon jambu. Tiba-tiba
Pangeran melihat seorang pertapa berjubah kuning dengan membawa mangkuk
di tangan menghampirinya.
Pangeran memberi salam kepada pertapa tersebut dan menanyakan kegunaan mangkuk yang sedang dipegangnya.
Pertapa
itu menjawab: “Pangeran yang mulia, aku ini seorang pertapa yang
minta-minta makanan. Aku menjauhkan diri dari keduniawian, meninggalkan
sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit
dan mati. Mangkuk ini aku bawa untuk mengharapkan makanan dari mereka
yang berbelas kasihan. Selain dari itu aku tidak menginginkan hal-hal
dan barang-barang duniawi.”
Pangeran terkejut karena ternyata pertapa ini mempunyai pikiran dan cita-cita yang sama dengan dirinya.
“O, pertapa suci, di manakah obat itu harus dicari?”
“
Pangeran yang mulia, aku mencarinya dalam ketenangan dan kesunyian
hutan-hutan yang lebat, jauh dari gangguan dan keramaian dunia. Sekarang
maafkan, aku harus meneruskan perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan
sedang menunggu.”
Kemudian
pertapa itu berlalu dan terus menghilang, Konon diceritakan bahwa
pertapa itu adalah seorang dewa yang ingin membantu Pangeran Siddhattha.
Pangeran merasa gembira sekali dan berkata di dalam hati: “Aku juga harus menjadi pertapa seperti itu!”
Tidak
lama kemudian datanglah dayang-dayang yang khusus mencari Pangeran
untuk memberitahukan bahwa Putri Yasodhara telah melahirkan seorang bayi
laki-laki yang sehat. Mendengar berita ini Pangeran bukan bergembira
tetapi mukanya justru menjadi pucat. Pangeran mengangkat kepalanya
menatap langit yang tinggi dan kemudian berkata:
“Rahulajato, bandhanang jatang.”
Yang berarti:
“Satu jerat telah terlahir, satu ikatan telah terlahir.”
“Satu jerat telah terlahir, satu ikatan telah terlahir.”
Karena ucapan ini maka bayi yang baru lahir kemudian diberi nama “Rahula”.
Dalam
perjalanan pulang ke istana Pangeran bertemu dengan Kisa Gotami yang
karena kagumnya mengucapkan kata-kata sebagai berikut :
“Nibbuta nuna sa mata.
Nibbuta nuna so pita.
Nibbuta nuna sa nari.
Yassa yang idiso pati.”
Nibbuta nuna so pita.
Nibbuta nuna sa nari.
Yassa yang idiso pati.”
Yang berarti:
“Tenanglah ibunya.
Tenanglah ayahnya.
Tenanglah istrinya.
Yang mempunyai suami seperti Anda.”
Pangeran
terkejut dan tergetar hatinya mendengar perkataan :”Nibbuta yang
berarti “tenang, padam nafsu-nafsu”, sehingga Beliau menghadiahkan Kisa
Gotami sebuah kalung emas yang sedang dipakainya.
No comments:
Post a Comment