Maha Kassapa
Dalam perjalanan ke Rajagaha, Sang Buddha tiba di suatu tempat perbatasan antara kota Rajagaha dan Nalanda dan beristirahat di bawah pohon beringin Bahuputtaka.
Pada
waktu itu, seorang pertapa bernama Pipphali lewat di tempat itu.
Pipphali adalah anak seorang Brahmana dari keluarga Kassapa yang bernama
Kapila dengan istrinya yang bernama Sumanadevi dari desa Mahatittha di
negara Magadha.
Ia
menghampiri Sang Buddha dan setelah mengetahui bahwa yang diajak bicara
adalah seorang Buddha, Pipphali mohon diterima menjadi murid.
Sang
Buddha mentahbiskannya dengan cara memberikan tiga buah nasehat, “Oh,
Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup
sederhana dan patuh kepada para bhikkhu yang tua, yang muda, dan yang
setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarakan Dhamma dengan baik,
memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu
menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus-menerus mengambil tubuhmu
sebagai objek meditasi.”
Setelah
ditahbiskan, Kassapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan
jubah Sang Buddha yang sudah tua. Kemudian Sang Buddha bangkit dan
meneruskan perjalanan-Nya menuju Rajagaha.
Bangga
karena merasa mendapat kehormatan besar dapat memakai jubah bekas Sang
Buddha, Kassapa kemudian dengan tekun melaksanakan latihan Dhutanga.
Pada hari ke delapan, ia mencapai tingkat kesucian Arahat.
Maha
Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari
seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama menjadi bhikkhu sampai
berusia lanjut, Maha Kassapa selalu tinggal di hutan. Tiap hari
mengumpulkan makanan, selalu memakai baju bekas (pembungkus mayat),
sudah puas dengan pemberian yang sedikit (kecil), selalu hidup menjauhi
masyarakat ramai dan terkenal rajin sekali.
Menjawab
pertanyaan, mengapa Beliau menuntut kehidupan yang demikian keras, Maha
Kassapa mengatakan bahwa Beliau berbuat semuanya itu bukan hanya untuk
kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi juga demi kebahagiaan orang lain di
kemudian hari. Maha Kassapa dipandang sebagai contoh yang baik sekali
untuk orang-orang yang benar-benar ingin melaksanakan hidup suci.
Sebagai penghormatan, Beliau diberi nama Maha Kassapa (Kassapa Agung).
Tiga
bulan setelah Sang Buddha meninggal dunia, Maha Kassapa mengetuai
Sidang Agung (Sangha-Samaya) yang pertama dengan dihadiri oleh 500 orang
Arahat di Goa Sattapanni, kota Rajagaha untuk menghimpun semua tata
tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni dan semua khotbah Sang Buddha
yang pernah diberikan di tempat-tempat yang berlainan, kepada
orang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula selama 45
tahun.
Maha Kassapa meninggal dunia pada usia 120 tahun.
No comments:
Post a Comment