Untuk menyambut kelahiran cucunya, Raja menyelenggarakan satu pesta yang besar dan meriah. Tetapi Pangeran kelihatan tidak gembira. Pangeran dengan hati-hati mendekati Raja dan mohon izin untuk mencari obat terhadap usia tua, sakit dan mati. Hal ini menimbulkan amarah Raja.
Izin tidak diberikan seperti dapat kita ikuti dalam percakapan di bawah ini :
“Ayah, kalau tidak diberi izin saya mohon Ayah berkenan memberikan kepadaku delapan macam anugrah.”
“Tentu saja, anakku, aku lebih baik turun tahta daripada tidak meluluskan permintaanmu.”
“Kalau begitu, mohon Ayah memberikan kepadaku :
1. Anugerah supaya tidak menjadi tua.
2. Anugerah supaya tidak sakit.
3. Anugerah supaya tidak mati.
4. Anugerah supaya Ayah tetap bersamaku.
5. Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama-sama dengan kerabat lain tetap hidup.
6. Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang.
7. Anugerah supaya mereka yang pernah hadir pada pesta kelahiranku dapat memadamkan semua nafsu keinginannya.
8. Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua dan mati.”
2. Anugerah supaya tidak sakit.
3. Anugerah supaya tidak mati.
4. Anugerah supaya Ayah tetap bersamaku.
5. Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama-sama dengan kerabat lain tetap hidup.
6. Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang.
7. Anugerah supaya mereka yang pernah hadir pada pesta kelahiranku dapat memadamkan semua nafsu keinginannya.
8. Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua dan mati.”
Mendengar
pernyataan di atas Raja Suddhodana menjadi kaget dan kecewa. Raja
menjawab, bahwa hal-hal yang di atas itu berada di luar kemampuannya dan
masih mencoba untuk membujuknya dengan mengatakan :
“Anakku, usiaku sekarang sudah lanjut. Tunggu saja dan tangguhkan kepergianmu sampai aku sudah mangkat.”
“Ayah,
relakan kepergianku justru sewaktu Ayah masih hidup. Aku berjanji bila
sudah berhasil akan kembali ke Kapilavatthu untuk mempersembahkan obat
yang telah kutemukan ke hadapan Ayah.”
Raja tetap tidak memberikan izinnya dan Pangeran tetap bersikeras untuk terus melaksanakan cita-citanya.
Pangeran kemudian memasuki kamar Yasodhara dan memandangi anaknya
dengan gembira dan haru karena tidak lama lagi Beliau akan
meninggalkannya berhubung tekadnya yang sudah bulat untuk mencari obat
agar orang tidak menjadi tua, sakit dan mati.
Selanjutnya
Pangeran masuk ke ruangan tempat para penari sedang menari diiringi
musik yang merdu. Pangeran merebahkan diri di atas bantal yang dibuat
dari benang-benang emas dan karena letih tidak lama kemudian Pangeran
tertidur. Para penari menghentikan tariannya dan mereka pun ikut tidur
di ruangan yang sama sambil menunggui Pangeran. Pada tengah malam
Pangeran terbangun dan memandang ke sekelilingnya. Pangeran melihat
gadis-gadis penari tergeletak tidur simpang siur di lantai dalam sikap
yang beraneka ragam. Ada yang terlentang, ada yang tengkurap, ada yang
mulutnya menganga lebar, ada yang air liurnya meleleh ke luar, ada yang
menggulung tubuhnya sambil kepalanya terantuk-antuk di dadanya. ada yang
menggigau, dan lain-lain. Pangeran merasa seperti di pekuburan dengan
mayat-mayat yang bergelimpangan. Pemandangan ini membuat Pangeran jijik
dan muak sekali, sehingga Beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan
istana pada malam itu juga.
Pangeran memanggil Channa dan memerintahkan untuk menyiapkan Kanthaka, kuda kesayangannya.
Pangeran kemudian pergi ke kamar Yasodhara untuk melihat istri dan
anaknya sebelum pergi untuk bertapa. Istrinya sedang tidur nyenyak dan
memeluk bayinya. Tangannya menutup muka sang bayi sehingga muka bayi
tidak dapat terlihat.

Pangeran
semula ingin menggeser sedikit tangan istrinya, tetapi hal itu
diurungkan karena takut kalau hal ini menyebabkan Yasodhara terbangun
dan rencananya untuk meninggalkan istana bisa gagal. Pangeran hanya
berkata dalam hati : “Tidak, biarlah hari ini aku tidak melihat wajah
anakku, tetapi nanti setelah aku memperoleh apa yang kucari aku akan
datang kembali dan dengan puas dapat melihat wajah anak dan istriku.”
Setelah
itu Pangeran meninggalkan istana dengan menunggang Kanthaka yang
berbulu putih diikuti oleh Channa yang memegang buntut kuda. Seolah-olah
sudah diatur terlebih dahulu oleh para dewa, Pangeran Siddhattha tidak
mendapat kesukaran waktu hendak keluar dari pintu gerbang istana dan
waktu hendak keluar dari pintu tembok kota.


Para
pengawalnya semua sedang tidur nyenyak dan Channa dengan mudah dapat
membuka pintu agar Pangeran dapat keluar dari istana dan keluar kota.
Ketika
itu Pangeran dicegat oleh Dewa Mara yang jahat dan membujuknya untuk
kembali ke istana dan ia berjanji bahwa dalam waktu satu minggu Pangeran
akan menjadi raja negara Sakya. Pangeran tidak menggubris bujukan Dewa
Mara yang membuat Dewa Mara menjadi marah dan mengancam akan terus
membuntutinya.
Setelah
sampai di luar kota Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk
melihat kota Kapilavatthu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian
didirikan sebuah cetiya yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya).
Saat itu terang bulan di bulan Asatha dan Pangeran berusia 29 tahun.
Perjalanan
diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya dan Malla dan
kemudian dengan satu kali loncatan menyeberangi sungai Anoma, Pangeran
turun dari kuda, mencopot semua perhiasannya dan memberikannya kepada
Channa, mencukur kumisnya, memotong rambut di kepalanya dengan pedang
dan melemparkannya ke udara (yang disambut oleh Dewa Sakka dan
membawanya ke sorga Tivatimsa untuk dipuja di Culamani-cetiya).
Rambut yang tersisa sepanjang dua Anguli (+/- dua inci) semasa hidupnya tetap sepanjang itu dan tidak tumbuh-tumbuh lagi.
Selanjutnya,
Brahma Chatikara mempersembahkan kepada Pangeran keperluan seorang
bhikkhu yang terdiri dari delapan rupa barang, yaitu : jubah luar, jubah
dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum, dan
saringan air. Setelah menukar pakaiannya dengan jubah bhikkhu, Pangeran
memerintahkan Channa untuk kembali ke istana.
“Tidak ada gunanya hamba diam terus di istana tanpa Tuanku. Perkenankanlah hamba ikut Tuanku berkelana.”
“Jangan
Channa, bawa pakaian dan perhiasan ini kembali dan berikan kepada
ayahku dan sampaikan pesanku untuk Ayah, Ibu, Yasodhara untuk jangan
terlalu bersusah hati. Aku akan mencari obat untuk menghentikan usia
tua, sakit, dan mati. Segera setelah aku memperolehnya aku kembali ke
istana untuk memberikannya kepada Ayah, Ibu, Yasodhara, Rahula dan
kepada semua orang yang ada di dunia ini.”
Channa
memberi hormat kepada Pangeran dan bersiap-siap untuk kembali. Tetapi
Kanthaka tidak mau diajak pergi. Pangeran mendekati Kanthaka,
mengusap-ngusap dan menepok-nepok lehernya dengan penuh kasih sayang
sambil berkata : “Ayolah, Kanthaka, ikutlah pulang dengan Channa dan
jangan menunggu aku lagi.”
Kanthaka
ikut dengan Channa tetapi baru jalan belum seberapa jauh, kuda itu
berhenti dan menengok lagi ke belakang agar dapat melihat wajah Pangeran
untuk penghabisan kali. Kuda itu nampaknya sedih sekali dan matanya
basah dengan air mata.
Kembalinya
Channa bersama Kanthaka tanpa Pangeran ke Kapilavatthu disambut Raja
dan seluruh penghuni istana dengan ratapan dan tangisan. Yasodhara
memeluk leher Kanthaka dan bertanya : “Oh, Kanthaka, kesalahan apakah
yang telah kubuat terhadapmu dan Channa, sehingga engkau berdua membawa
pergi Tuanku Pangeran sewaktu aku sedang tidur nyenyak?” Hal ini membuat
Kanthaka sedih dan patah hati.
Channa
menyerahkan perhiasan, pedang serta pakaian Pangeran kepada Baginda
Raja, menyampaikan salam perpisahan Pangeran kepada Ibunya dan Yasodhara
beserta segenap keluarga lainnya. Selanjutnya Channa memberitahukan
bahwa Pangeran sekarang berada di tepi sungai Anoma di negara Malla.
Meskipun
menyesali kepergian Pangeran Siddhattha, tetapi Raja tahu bahwa
kepergiannya itu sesuai dengan ramalan pertapa Asita dan Kondanna dan
mengharap-harap cemas bila kiranya Pangeran akan berhasil menjadi
seorang Buddha. Mulai hari itu Raja selalu mengikuti keadaan Pangeran
dengan menyuruh orang menyelidiki dan melaporkan kepada Raja segala
sesuatu yang dikerjakan Pangeran dan di mana Beliau berada.
No comments:
Post a Comment