Penerangan Agung

“Dengan
disaksikan oleh bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku
akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun
dari tempat ini sebelum memperoleh Penerangan Agung dan mencapai
Nibbana.”
Kemudian
pertapa Gotama melakukan meditasi Anapanasati, yaitu meditasi dengan
menggunakan obyek keluar dan masuknya napas. Tidak seberapa lama
pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya, seperti keinginan
kepada benda-benda duniawi, tidak menyukai penghidupan suci yang bersih
dan baik, perasaan lapar dan haus yang luar biasa; keinginan yang sangat
dan melekat kepada benda-benda, malas dan tidak suka mengerjakan
apa-apa; takut kepada jin-jin, hantu-hantu jahat; keragu-raguan,
kebodohan, keras kepala, keserakahan; keinginan untuk dipuji dan
dihormati dan hanya melakukan hal-hal yang membuat dirinya terkenal;
tinggi hati dan memandang rendah kepada orang lain.
Perjuangan
hebat dalam batin pertapa Gotama melawan keinginan dan nafsu-nafsu
tidak baik, dalam buku-buku suci digambarkan sebagai perjuangan melawan
Dewa Mara yang jahat, seperti dapat diikuti dalam pembabaran di bawah
ini.
Pada saat itu
muncul Mara, dewa hawa nafsu, yang bermaksud menghalang-halangi pertapa
Gotama memperoleh Penerangan Agung, disertai bala tentaranya yang maha
besar. Bala tentara itu ke depan, ke kanan dan ke kiri lebarnya 12
league dan ke belakang sampai ke ujung cakrawala, sedangkan tingginya 9
league. Mara sendiri membawa berbagai macam senjata dan duduk di atas
gajah Girimekhala yang tingginya 150 league. Melihat bala tentara yang
demikian besar datang, semua dewa yang sedang berkumpul di sekeliling
pertapa Gotama, seperti Maha-Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala dan
lain-lain cepat-cepat menyingkir dari tempat itu dan pertapa Gotama
ditinggal sendirian dengan hanya berlindung kepada sepuluh Paramita yang
sejak lama dilatihnya. Semua usaha Mara untuk menakut-nakuti pertapa
Gotama dengan hujan besar disertai angin kencang dan halilintar yang
berbunyi tak henti-hentinya diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain
yang mengerikan ternyata gagal semua dan akhirnya Mara menyambit dengan
Cakkavudha yang ternyata berubah menjadi payung yang dengan tenang
bergantung dan melindungi kepala pertapa Gotama.
Bumi
telah menjadi saksi, bahwa pertapa Gotama lulus dari semua
percobaan-percobaan dan layak untuk menjadi Buddha. Gajah Girimekhala
berlutut di hadapan pertapa Gotama dan Mara menghilang dan lari
bersama-sama dengan bala tentaranya. Para dewa yang menyingkir sewaktu
Mara tiba dengan bala tentaranya datang kembali dan semua bersuka cita
dengan keberhasilan pertapa Gotama.
Setelah
berhasil mengalahkan Mara, pertapa Gotama memperoleh
Pubbernivasanussatinana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan
terang kelahiran-kelahirannya yang dulu. Hal ini terjadi pada waktu jaga
pertama, yaitu antara jam 18.00 – 22.00.
Pada
waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00 – 02.00, pertapa Gotama
memperoleh Cutupapatanaria, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat
dengan terang kematian dan tumimbal lahir kembali dari makhluk-makhluk
sesuai dengan tumpukan karma mereka masing-masing. Tumpukan karma yang
berlainan inilah yang membuat satu makhluk berbeda dengan makhluk lain.
Kemampuan ini juga dinamakan Dibbacakkunana, yaitu kebijaksanaan dari
Mata Dewa.
Pada waktu
jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00 – 04.00, pertapa Gotama memperoleh
Asavakkhayanana, yaitu kebijaksanaan yang dapat menyingkirkan secara
menyeluruh semua Asava (kekotoran batin yang halus sekali).
Dengan
demikian ia mengerti sebab dari semua keburukan dan juga mengerti cara
untuk menghilangkannya. Dengan ini ia telah menjadi orang yang paling
bijaksana dalam dunia yang dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan
kepadanya. Sekarang ia mendapat jawaban tentang cara untuk mengakhiri
penderitaan, kesedihan, ketidak-bahagiaan, usia tua dan kematian.
Batinnya menjadi tenang sekali dan penuh kedamaian, karena sekarang ia
mengerti semua persoalan hidup dan menjadi Buddha.
Dengan
muka bercahaya terang, penuh kebahagiaan, pertapa Gotama dengan suara
lantang mengeluarkan pekik kemenangan sebagai berikut :
“Anekajati samsarang
Sandhavissang anibbissang
Gohakarakang gavesanto
Dukkha jati punappunang.
Gahakaraka! dittho’si
Punagehang na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutang visamkhitang
Visamkharagatang cittang
Tanhanang khayamajjhaga.”
Sandhavissang anibbissang
Gohakarakang gavesanto
Dukkha jati punappunang.
Gahakaraka! dittho’si
Punagehang na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutang visamkhitang
Visamkharagatang cittang
Tanhanang khayamajjhaga.”
Artinya :
“Dengan sia-sia aku mencari Pembuat Rumah ini
Berlari berputar-putaran dalam lingkaran Tumimbal Lahir
Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habisnya
O, Pembuat Rumah, sekarang telah kuketahui
Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi
Semua atapmu telah kurobohkan
Semua sendi-sendimu telah kubongkar
Batinku sekarang mencapai keadaan Nibbana
Dan berakhirlah semua nafsu-nafsu keinginan.”
Di
kisahkan bahwa pada saat itu bumi tergetar karena gembira dan di udara
sayup-sayup terdengar suara musik yang merdu; seluruh tempat itu penuh
dengan kehadiran para dewa yang turut bergembira dan ingin melihat orang
yang berhasil mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha; pohon-pohon
mendadak berbunga dan menyebarkan bau harum ke seluruh penjuru;
binatang hutan yang biasanya saling bermusuhan pada waktu itu dapat
hidup berdampingan dengan damai.
Demikianlah
Pangeran Siddhattha yang dilahirkan pada saat purnama sidhi di bulan
Vaisak tahun 623 SM, menikah pada usia 16 tahun, meninggalkan istana
pada usia 29 tahun, setelah bertapa selama 6 tahun menjadi Buddha pada
usia 35 tahun.
No comments:
Post a Comment