Tujuh Minggu Setelah Penerangan Agung

Selama minggu
kedua Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari pohon Bodhi dan
memandangnya terus-menerus dengan mata tidak berkedip selama satu minggu
sebagai cetusan terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah
memberi-Nya tempat untuk berteduh sewaktu bergulat untuk mencapai
tingkat Buddha. Mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Sang Buddha
dahulu, sekarang pun umat Buddha memberi penghormatan kepada pohon
Bodhi.
Selama minggu
ketiga Sang Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas yang
dicipta-Nya di udara, karena melalui mata dewa-Nya Sang Buddha
mengetahui, bahwa dewa-dewa di sorga masih meragukan apakah Beliau benar
telah mencapai Penerangan Agung.
Selama minggu
keempat Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan-Nya.
Di kamar permata itulah Sang Buddha bermeditasi mengenai Abhidhamma,
yaitu ajaran mengenai ilmu jiwa dan metafisika. Batin dan badan
jasmani-Nya telah menjadi demikian bersih, sehingga mengeluarkan
sinar-sinar berwarna biru, kuning, merah, putih dan jingga dan campuran
kelima warna tersebut. Kini warna-warna tersebut diabadikan sebagai
bendera umat Buddha.
Selama minggu kelima Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Ajapala Nigrodha (pohon beringin), tidak jauh dari pohon Bodhi.
Di sinilah tiga
orang anak Mara, yaitu : Tanha, Arati dan Raga masih berusaha untuk
mengganggunya. Mereka menampakkan diri sebagai tiga orang gadis yang
elok dan menggiurkan yang dengan berbagai macam tarian yang erotis
(penuh nafsu birahi), diiringi nyanyian yang merdu dan bisikan yang
memabukkan, berusaha untuk merayu dan menarik perhatian Sang Buddha.
Tetapi Sang Buddha menutup mata-Nya dan tidak mau melihat, sehingga
akhirnya tiga orang dewi hawa nafsu itu meninggalkan Sang Buddha.
Selama minggu
keenam Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Mucalinda. Karena waktu
itu turun hujan lebat, maka datanglah seekor ular kobra yang besar
sekali dan melibatkan badannya tujuh kali memutari badan Sang Buddha dan
kepalanya memayungi Sang Buddha supaya jangan sampai terkena air hujan.
Waktu hujan berhenti, ular itu berubah bentuknya menjadi seorang anak
muda.

Pada waktu itulah Sang Buddha mengucapkan kata-kata sebagai berikut:
“Berbahagialah
mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang dapat mendengar
dan melihat kesunyataan. Berbahagialah mereka yang bersimpati kepada
makhluk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah yang hidup di dunia
dengan tidak melekat kepada apa pun dan mengatasi hawa nafsu. Lenyapnya
“Sang Aku” merupakan berkah yang tertinggi.”
Selama minggu
ketujuh Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Rajayatana. Pada hari
ke-50 pagi hari, setelah berpuasa selama tujuh minggu, dua orang
pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha sedang duduk. Mereka, Tapussa
dan Bhallika, menghampiri Sang Buddha dan mempersembahkan makanan dari
beras dan madu. Sang Buddha agak tertegun sejenak, karena mangkuk yang
Beliau terima dari Sujata telah dihanyutkan di sungai Neranjara dan
sejak jaman dahulu tidak pernah seorang Buddha menerima makanan dengan
kedua tangan-Nya. Tiba-tiba empat orang dewa dari empat penjuru alam
(Catumaharaja yaitu Dhatarattha dari sebelah Timur, Virulhaka dari
Selatan, Virupakkha dari Barat dan Kuvera dari Utara) datang menolong
dengan membawa seorang satu mangkuk yang dipersembahkan kepada Sang
Buddha. Sang Buddha menerima empat mangkuk tersebut dan dengan kekuatan
gaib-Nya dijadikan satu mangkuk.
Sang Buddha
dengan demikian dapat menerima persembahan dari Tapussa dan Bhallika.
Selesai Sang Buddha makan, maka kedua pedagang itu mohon diterima
sebagai pengikut.
Mereka diterima
sebagai upasaka-upasaka pertama yang berlindung kepada Sang Buddha dan
Dharma. Kemudian mereka mohon diberikan suatu benda yang mereka dapat
bawa pulang. Sang Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan dan
memberikan beberapa lembar rambut (Kesa Dhatu = Relik Rambut). Tapussa
dan Bhallika dengan gembira menerima Kesa Dhatu tersebut dan setelah
tiba di tempat mereka tinggal, mereka mendirikan sebuah pagoda untuk
memuja Kesa Dhatu ini.
Setelah makan
Tapussa dan Bhallika melanjutkan perjalanannya. Sang Buddha merenung
apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai
atau tidak.
Sebab Dhamma itu
dalam sekali dan sulit untuk dimengerti, sehingga menimbulkan perasaan
enggan dalam diri Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma.
Tiba-tiba Brahma
Sahampati, Penguasa dunia ini, turun dari Brahmaloka dan berdiri di
hadapan Sang Buddha. Setelah memberi hormat yang layak, Brahma Sahampati
berkata kepada Sang Buddha :
“Semoga Sang
Tathagata, demi belas kasihan kepada para manusia, berkenan mengajarkan
Dhamma. Dalam dunia ini terdapat juga orang-orang yang sedikit
dihinggapi kekotoran batin dan mudah dapat mengerti Dhamma yang akan
diajarkan.”
Hingga kini
permohonan Brahma Sahampati kepada Sang Buddha tetap diperingati dengan
permohonan kepada seorang Bhikkhu untuk mengajar Dhamma yang berbunyi
sebagai berikut :
“Brahma ca lokadhipati Sahampati
Katanjali adhivarang ayacatha
Santidha sattapparajakka jatika
Desetu Dhammang anukampimang pajang.”
Katanjali adhivarang ayacatha
Santidha sattapparajakka jatika
Desetu Dhammang anukampimang pajang.”
Artinya :
“Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini
Merangkap kedua tangannya dan memohon,
Ada makhluk-makhluk yang dihinggapi sedikit kekotoran batin
Demi belas kasihan kepada mereka, ajarkanlah mereka Dhamma.”
Dengan mata dewa
Sang Buddha dapat mengetahui bahwa memang ada orang-orang yang tidak
lagi terlalu terikat kepada hal-hal duniawi dan mudah mengerti Dhamma.
Karena itu Sang
Buddha mengambil ketetapan hati untuk mengajar Dhamma demi belas
kasihan-Nya kepada umat manusia. Kesediaan-Nya itu diutarakan dengan
mengucapkan kata-kata sebagai berikut :
“Aparuta tesang amatassa dvara
Ye sotavanto pamuncan tu saddhang.”
Ye sotavanto pamuncan tu saddhang.”
Artinya :
“Terbukalah pintu Kehidupan Abadi
Bagi mereka yang mau mendengar dan mempunyai keyakinan.”
Perhatian-Nya
kemudian ditujukan kepada Alara Kalama, tetapi para dewa segera
memberitahukan, bahwa Alara seminggu yang lalu telah meninggal dunia.
Kemudian perhatian-Nya ditujukan kepada Uddaka Ramaputta, namun para
dewa juga mengatakan, bahwa kemarin malam Uddaka meninggal dunia.
Selanjutnya Sang Buddha mengalihkan perhatian-Nya kepada lima orang
pertapa yang pernah bersama-sama melakukan pertapaan. Kelima orang itu
sekarang berada di taman rusa di kota Benares, ibukota negara Kasi.
Sang Buddha
segera berangkat menuju ke taman rusa di Benares. Dalam perjalanan ke
Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka bernama Upaka.
Terpesona melihat Sang Buddha yang wajahnya demikian cemerlang, Upaka
bertanya siapakah guru Sang Buddha. Sang Buddha menjawab bahwa Beliau
adalah Orang Yang Maha Tahu dan tidak mempunyai guru siapa pun juga.
Tetapi Upaka nampaknya sama sekali tidak terkesan. Ia menggelengkan
kepala dan kemudian meneruskan perjalanannya, sedangkan Sang Buddha
sendiri juga melanjutkan perjalanan-Nya ke Benares.
No comments:
Post a Comment