Pembabaran Dhamma
Pada
suatu hari, Sang Buddha memanggil berkumpul murid-muridNya yang
berjumlah enam puluh orang Arahat dan berkata, “Aku telah terbebas dari
semua ikatan-ikatan, oh bhikkhu, baik yang bersifat batiniah maupun yang
bersifat badaniah, demikian pula kamu sekalian. Sekarang kamu harus
mengembara guna kesejahteraan dan keselamatan orang banyak. Janganlah
pergi berduaan ke tempat yang sama.
Khotbahkanlah Dhamma yang mulia pada
awalnya, mulia pada pertengahannya, dan mulia pada akhirnya. Umumkanlah
tentang kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam
ungkapan dan dalam hakekatnya. Terdapat makhluk-makhluk yang matanya
hanya ditutupi oleh sedikit debu. Kalau tidak mendengar Dhamma, mereka
akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh manfaat yang besar. Mereka
adalah orang-orang yang dapat mengerti Dhamma dengan sempurna. Aku
sendiri akan pergi ke Senanigama di Uruvela untuk mengajarkan Dhamma.”
Kemudian
berangkatlah keenam puluh Arahat itu sendiri-sendiri ke berbagai
jurusan dan mengajar Dhamma kepada penduduk yang mereka jumpai. Sewaktu
mengajar, mereka kerap kali bertemu dengan orang yang ingin menjadi
bhikkhu. Karena mereka sendiri belum bisa mentahbiskannya, maka dengan
melakukan perjalanan jauh dan melelahkan mereka membawa orang itu
menghadap Sang Buddha. Melihat kesulitan ini maka Sang Buddha
memperkenankan para bhikkhu untuk memberikan pentahbisan sendiri.
“Aku
pekenankan kamu, oh Bhikkhu, untuk mentahbiskan orang di tempat-tempat
yang jauh. Inilah yang harus kamu lakukan. Rambut serta kumisnya harus
dicukur, mereka harus memakai jubah Kasaya (jubah yang dicelup dalam air
larutan kulit kayu tertentu), bersimpuh, merangkap kedua tangannya
dalam sikap menghormat dan kemudian berlutut di depan kaki bhikkhu.
Selanjutnya kamu harus mengucapkan dan mereka harus mengulang ucapanmu,
“Aku berlindung kepada Sang Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku
berlindung kepada Sangha, dan seterusnya.”
Mulai
saat itu terdapat dua cara pentahbisan, pertama yang diberikan Sang
Buddha sendiri dengan memakai kalimat “ehi bhikkhu” dan yang kedua
diberikan oleh murid-muridNya yang dinamakan pentahbisan
“Tisaranagamana”.
Dalam
perjalanan dari Uruvela ke Benares, pada suatu hari Sang Buddha tiba di
perkebunan kapas dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang.
Tidak jauh dari tempat itu, tiga puluh orang pemuda sedang bermain-main
yang diberi nama Bhaddavaggiya. Dua puluh sembilan orang sudah menikah,
hanya seorang belum. Ia membawa seorang pelacur. Selagi mereka sedang
bermain-main dengan asyik, pelacur tersebut menghilang dengan membawa
pergi perhiasan yang mereka letakkan di satu tempat tertentu.
Setelah
tahu apa yang terjadi, mereka mencari pelacur tersebut. Melihat Sang
Buddha duduk di bawah pohon, mereka menanyakan, apakah Sang Buddha
melihat seorang wanita lewat di dekat situ. Atas pertanyaan Sang Buddha,
mereka menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian Sang Buddha
berkata, “Oh, Anak-anak muda, cobalah pikir, yang mana yang lebih
penting. Menemukan dirimu sendiri atau menemukan seorang pelacur?”
Setelah mereka menjawab bahwa lebih penting menemukan diri mereka
sendiri, maka Sang Buddha kemudian berkhotbah tentang Anupubbikatha dan
Empat Kesunyataan Mulia. Mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan mohon
ditahbiskan menjadi bhikkhu. Setelah ditahbiskan, mereka dikirim ke
tempat-tempat jauh untuk mengajarkan Dhamma.
No comments:
Post a Comment